Senandung Cinta Rumaisha 9

 Meski menurut orang Indah, sejatinya kehidupan akan terus bergerak dan berputar. Ada saatnya di atas pula di bawah. Begitupun dalam bidik rumah tangga, bahagia bisa muncil dan sirna kapan saja. Everything depends on you. Ya, masing-masing adalah Kita yang mengendalikannya, bukan Mereka.

Ahza Rumaisha bersama suami yang menyandang nama indah, Muhammad Ibrahim, kini telah merenung akan kehidupan di depannya. Jika kemarin keduanya diam, tidak untuk sekarang. Ahza dam Ibra harus mampu bergerak tanpa embel-embel pewaris tunggal.

"Kang, apa yakin dengan keputusan itu?"

"Yakin seyakin-yakinnya. Dengar, Aku ini laki-laki. Tidak mungkin terus bergantung pada Umma dan Buya," diam sejenak, "lagi pula, Aku sudah terbiasa mandiri sejak kecil."

Mendengar itu, Rumaisha mengembun dan mendekat ke arahnya, "maaf, jangan bersedih!"

Gadis itu memegang jemari suaminya tuk menguatkan, "Ahzamu ini akan ikut kemanapun."

Ah, Ibrahim tak tahan dengan semua ini dan segera merengkuhnya, "maaf, Kamu harus merasakan susah."

"Nggak ada kata susah kalau kita jalani bersama. Bener kan, kang?"

Ibrahim mencoba memecah suasana ini, "bijak banget istriku."

"Kang, ih. Lagi serius ini."

Lelaki itu terus terkekeh, berusaha agar tak ada tangisan pagi ini.

"Kang."

"Ya?"

"Emm, Maisha-"

"Ada apa?"

"Eh, ng- nggak. Turun, yuk!"

Surely, Ibrahim merasa ada sesuatu yang disembunyikan sang istri.


.


.


.


Dalam ruang makan, dua pasang suami istri itu tengah menyantap makanan bersama. Hawa terasa khidmat, tak ada obrolan sekalipun. Hingga, makanan tak bersisa, tampak ada rasa lega dan kembali bersua.

"Sayang, jadi kuliah dimana?"

Menegang, pertanyaan itu sangat menohok sang Ahza. Bukan tak ingin, Dia justru sangat memimpikan pendidikannya itu. Apa daya, gadis itu terlalu mengasihi sang suami hingga rela mengubur asanya.

Sedang Ibra, tampak menggali makna. Sesaat, Dia menyadari semuanya. Secara tak langsung, lelaki itulah penghalangnya.

"Emm, kayaknya Maisha- emm,"

"Maisha akan kuliah di perguruan terbaik, Buya. Ibra akan mengusahakannya."

Maisha membulatkan matanya sempurna. Dia menyadari ada yang menyayat hati suaminya. Seolah memaksakan kehendaknya, gadis itu menangis menyesalinya dalam hati.

"Bukan Kamu saja, Nak. Tapi Kita, paham?"

Dia hanya mampu mengangguk kikuk. Sungguh, egonya cukup kuat dna ingin memberontak, menunjukkan harga dirinya.

"Buya, kami sudah memutuskan satu hal."

"Keputusan apa?"

Ibra menarik napas dalam dan mengeluarkannya dengan berat, "Kami akan belajar hidup mandiri. Apa Saya diizinkan membawa putri Buya?"

Umma Buya hanya saling pandang. Ahza adalah putri tunggal serta kebanggannya. Sudikah kiranya membiarkan sang anak bersusah payah merajut asa?

"Tap-"

"Buya izinkan!" Buya menyela ucapan Umma.

"Buya?" Tanya snag Umma sangat lirih.

"Buya izinkan karena Buya percaya pada Nak Ibra. Tapi dengan satu syarat."

Rumaisha menegakkan tubuh seketika sembari menelan saliva, "s-syarat?"

"Ya, kalian harus menikah sah secara agama dan negara dulu baru bisa hidup mandiri. Bagaimana?"

"Tapi-"

"Sayang, dengar! Ahza ini perempuan. Pernikahan siri tak akan menjamin segalanya, paham?"

Rumaisha mengangguk takut, "tapi, Maisha malu, masih kecil."

"Tenang saja, cukup ke KUA dan membawa 2 orang saksi. Selebihnya keputusan kalian."

Tak ada pilihan lain, toh ini untuk kebaikan kehidupannya kelak.

"Baik, Buya."

Dan pada hari itu, jam menunjukkan tepat pada angka 10, tuk yang kedua kalinya Muhammad Ibrahim berucap lantang Qobiltu untuk bidadari kecilnya.


.


.


.


Detik ini, di hunian baru, yang mungkin jauh dari kata mewah, keduanya berjanji tuk menitih surga bersama. Suka atau duka akan dilalui bersama. Meski tak mudah, keduanya percaya bahwa pertolongan sang penguasa semesta itu ada.

"Maaf ya, Sha! Ini rumah peninggalan Abah sama Umi, nggak terawat."

"Ngomong apa sih, Kang. Mending beres-beres, yuk!"

Ah, Ahza sangat lihai menghibur kegundahan suaminya. Seperti janjinya, gadis itu akan membersamainya layaknya sosok Rahmah yang setia mendampingi Nabiyullah Ayyub.

"Pendaftaran kuliah kapan, Sha?"

Rumisha yang sedang menata pakaian menghentikan aktivitasnya seketika.

"Emm, kang, mending Maisha pending aja kuliahnya."

"Jangan! Itu impianmu dan keluarga."

"Tap-"

Ibra membungkam mulutnya seketika, "sst, nggak ada penolakan. Kamu harus tetep kuliah."

Gadis itu menunduk lesu, merenungi semua. Sejenak, Dia mendongak dan menerbitkan senyuman,

"ok, tapi Maisha akan kuliah melalui program beasiswa. Kang Ibra cukup doakan saja, gimana?"

Sedang suaminya tampak berpikir, "emm, baiklah. Tapi, kalau gagal, kamu harus tetep lanjut kuliah melalui jalur mandiri, bagaimanapun caranya."

"Deal!"

Keduanya pun tersenyum dan melanjutkan aktivitasnya.

Malam menyapa, sepasang kekasih halal itu duduk bersama, bercengkrama sembari menikmati tontonan di layar kaca.

"Keluar, yuk!"

"Kemana, kang?"

"Sesuai janjiku, mau hadiah, kan?"

"Serius? Mau lah. Kesempatan emas ini."

"Ya udah ganti baju, gih!"

Rumaisha pun berlari secepat kilat, tak sabar ingin menghabiskan quality time bersama suaminya.

Keduanya menyusuri dinginnya malam dengan kendaraan roda dua milik almarhum Abah Ibrahim. Rumaisha tampak tegang selama perjalanan. Ingin sekali, tangannya merengkuh pinggang suami, namun seolah tertahan, malu campur takut adanya penolakan.

"Kang," Rumaisha berbisik lirih.

"Hmm."

"Takut," cicitnya pelan.

"Takut apa?" Ibra sedikit menaikkan suara karena bising sepeda yang ia kendarai.

"Takut jatuh."

Ibrahim mengerem sepedanya tanpa aba-aba hingga kening istrinya menatap keras punggungnya.

"Duh, hati-hati dong, kang! Sakit, nih."

Ibrahim tertawa melihat tingkahnya, "maaf, maaf. Lagian, ada-ada aja takut jatuh."

Rumaisha gugup dan berbisik, "boleh pegangan gak?"

"Pegangan aja, Sha!"

"Peluk pinggang,"

Kalimat itu membuat Ibra beku seketika. Namun, detik berikutnya, Ia justru terbahak mendengarnya.

"Bocil! Ya udah, gih. Nggak dosa, kan?"

"Risih, nggak?"

"Berisik! Peluk atau Aku turunkan di tengah hutan?"

Ahza dengan sigap memeluk pinggangnya erat, "Ibra ngeselin."

Tiba di tengah hamparan pasir, ditemani rerumputan dan pepohonan yang bergoyang indah, tampak meja dan dua kursi tertata indah dengan gemerlap lampu. Sederhana memang, namun cukup membius sosok Ahza.

"Aaaaaa, Kang Ibra kok sweet banget, sih."

"Suka?"

"Banget, Kang."

Ibra menggandeng tangannya menuju kursi dan meja yang lengkap dengan hidangannya.

"Maaf, ya, cuma bisa kasih hadiah sederhana."

"Ih, ini bagus lho, Kang. Eh tapi kapan Kang Ibra ngaturnya?"

"Minta bantuan teman."

"Demi apa? Kang Ibra sekarang bisa romantis ya?" Maisha menggebu dalam berujar.

"Mulai, kan. Cuek salah, romantis salah. Dasar cewek!"

"Jiaa, gitu aja manggil Maisha bocil, eh Kang Ibra juga kayak bocil, ngambekan." Ucapnya sambil memainkan mata indahnya.

"Astaghfirullah, kenapa istriku cerewet sekali?"

Ah, kalimat itu sukses membuat Rumaisha terpingkal-pingkal. Angin malam menjadi saksi betapa keduanya berusaha menjalani hari dengan keteguhan hati.

"Sha, Aku punya satu hadiah lagi."

"Apa kang?"

"Merem dulu, gih!"

Rumaisha menurut sedang Ibra berdiri, merogoh sesuatu dalam sakunya. Tangannya lihai menyentuh area lehernya hingga tampak benda gold menyinari wajahnya. Gadis itu menghangat dan tersenyum bahagia akan hadiahnya.

"Kang, ini buat Maisha?"

"Iya lah, masa' buat istri orang."

"Kang, ih. Serius? Mahal lho ini."

"Suamimu nggak sekere itu kok. Aku pecah tabungan demi Kamu."

"Tabungan apa?"

"Diem atau Aku buang kalungnya!"

Rumaisha berlari, berhambur ke pelukannya, "makasih kang suami. Tambah cinta deh."

Ibra terkekeh, "iya Ahza, sayang!"

Sesaat, Rumaisha tertawa dengan pandangan sendu,

'duh, serasa nggak punya harga diri ya Aku,' batinnya terkekeh lirih.

------>  holaa.. perjuangan Ahza dan Ibra dimulai yaa. maaf kalau feelnya kurang dapat, soalnya lagi bad mood 😅😅

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Senandung Cinta Rumaisha 17

Senandung Cinta Rumaisha 6

Senandung Cinta Rumaisha 13