Senandung Cinta Rumaisha 14

 Lelah musnah saat jiwa bangun dengan rasa bahagia. Suara jangkrik bersahutan, menemani munajatnya apda sang Kuasa. Dalam doa, dua insan saling menyebut nama, berharap segera sampai bersama di titik teratas sakinah.

"Ada apa?"

Ibra memandang heran sang Istri yang menyalaminya lama tanpa kata.

"Kang Ibra masih marah?"

"Bahas itu nanti saja, Sha! Jangan mengawali hari dengan kegundahan."

"Tap-"

"Ssst, sudah. Sekarang, ayo ngaji!"

Gadis itu menurut, mengatur posisi, dan membaca Al-Quran bersama. Saat ayat Allah terlantun indah, ada ketenangan yang menyusup dalam jiwa. Lantunan terus berlanjut hingga datang waktu 2 rakaat wajib. Keduanya bermunajat, berdoa tuk kebaikan bersama.

"Sha, hari ini mau masak apa?"

Maisha mendongak, "kok tumben tanya gitu, Kang?"

Ibra terkekeh, "Nggak apa-apa, pengen tau aja."

"Kang Ibra pengen makan apa?"

"Emm, nasi goreng."

"Ok, Maisha buatkan dulu!"

Maisha hendak bangkit, namun Ibra mencekal tangannya hingga Ia terjungkal tepat di pangkuannya. Netranya bertemu, cukup dekat cukup lama.

"A-ada apa, Kang?"

Ibra tampak gugup, salah tingkah. Lelaki itu menetralkan hatinya sembari membenarkan posisi sang istri.

"Eh, ini,-" dia berhenti sejenak dan membatin, 'kenapa jadi deg-deg an sih?'

"Ada apa kang?"

"Nggak apa-apa. Masak gih!"

Maisha cengo mendengarnya, "Kang Ibra aneh, ih!"

Ibra tersenyum kikuk melihatnya. Maisha pun berlalu dan berkutat di dapur.

2 jam berlalu, Maisha telah usai dengan tugas dapurnya. Waktu yang cukup lama, tak apa karena semua butuh usaha.

"Kang, ayo makan!" Teriaknya sembari menata makanan.

Ibra datang dan duduk menghadapnya. Ahza begitu lihai mengambilkan porsi untuknya.

"Ini, kang. Maaf kalau nggak enak."

"Bagaimanapun rasanya, aku akan menyantapnya sampai tandas."

"Manisnya suamiku."

Sekali lagi, Ibra terkekeh. Keduanya menyantap, menekan ego tuk bertukar kisah. Hingga semua tandas, meja bersih dari piring dan gelas kotor, keduanya kembali duduk saling pandang.

"Hari ini ke ndalem, kang?"

"Libur dulu. Ada apa?"

Maisha menunduk ragu, "pengen jalan-jalan. Boleh?"

Mendengar itu, Ibra terseneyum, "baru saja Aku mau ngajak kamu, Sha. Boleh, lah."

"Beneran, Kang?"

"Iya, bener. Siap-siap, gih!"

"Ok, kang suami!"

Pagi yang indah, keduanya menyusuri taman kota. Jalan-jalan biasa, tempat sederhana, namun momentnya sungguh istimewa.


Kini, keduanya duduk di tengah indahnya taman. Dinginnya ice cream menambah kebersamaan.

"Kang, Maisha mau tanya."

"Hmm?"

"Kenapa 2 kali Kang Ibra telat jemput Maisha?" Pertanyaannya to the point, tanpa jeda, tanpa ragu.

Ibra menatap netranya penuh sesal, "maaf, kebetulan disuruh gantiin jadwalnya Gus Rayhan."

Maisha mengangguk dan menunduk, "kang, berati kita akan jarang komunikasi kayak gini yaa. Maisha kuliah, kang Ibra di ndalem dari pagi sampe sore, kadang malam."

"Kan malamnya masih ketemu, sayang!"

Blush

Kalimat itu membuatnya tercekat seketika, "kang Ibra, ih. Cerewet Maisha jadi hilang seketika "

Ibra tertawa dan mengacak kerudungnya.


Sesaat, rasa perih menyerang perutnya. Lelaki itu berusaha memposisikan diri sebaik mungkin. Gagal, mules semakin menyerang dan Ibra telah berdiri memandang sekitar.

"Sha, Aku tinggal dulu ke toilet."

Maisha mengangguk, "jangan lama-lama ya, kang!"

Maisha, kini duduk sembari memegangi ponselnya. Tangannya lihai menscroll layar, melihat jua membaca story semua temannya. Ah tangannya sungguh gatal, Dia mengambil potret bunga dan menampakkan separuh punggung tangannya.

--jalan² with abang dong--

Send

Story sederhana dengan caption yang mengundang tanya. Nadia, teman sekelas yang rupanya telah tergila-gila, mengirim 1 notif pesan.

Nadia


Di taman kota? Tunggu aku! Aku mau ke sana!

Deg

Gadis itu kelabakan. Temannya tak akan pernah main-main akan ucapannya. Toilet, itu tujuannya sekarang. Dia berlari menyusuri taman. Matanya memindai tiap petunjuk arah, mencari aksara bertuliskan toilet. Great, netranya menangkap dan kakinya melangkah cepat.

"Ahza!"

Ah, langkahnya mendadak berat. Suara itu menghantam dadanya seketika. Hatinya mengumpat, mengucap serapah padanya.

"Ahza!"

Gadis itu menoleh terpaksa. Andai tak dosa, Dia begitu ingin membungkam mulutnya bagaimanapun caranya.

"Ya?"

"Nggak bisa baca?"

"Maksudmu apa?"

Tangannya menunjuk pada tulisan yang bertengger di atas bangunan persegi itu,


--Toilet Pria--

See, gadis itu beku, tak tau harus menjawab apa.

"Kenapa? Apa sekarang tempatnya ganti?"

"Eh, i-ni. Salah."

"Aku antar!"

Maisha melotot tak percaya, lelaki itu begitu percaya diri mengatakannya.

"Ekhem!"

Deg

Suara deheman ringan namun membuat jantungnya berjalan cepat. Ingin rasanya lenyap segera di antara keduanya.

'Mampus, akan ada salah paham lagi ini.' Batinnya mengumpat.

"Kamu yang bernama Fauzan, kan?" Ibra membuka suara, menatap Fauzan tajam.

"Ya, teman sekampus Ahza."

Ibra masih setia dengan tangan bersendekap, "Sejak kapan kamu menjadi temannya?"

"Apa urusanmu?"

"Urusanku? Dengar, Aku berhak tau semua karena dia-"

Telat, Maisha mencekal tangannya, mencoba menyeretnya paksa. Ah, siapa dia? Hanya perempuan kecil, tak akan mungkin sanggup menarik tubuh kekarnya.

"Diam, Sha!" Ujarnya penuh penekanan.

Maisha menunduk takut, lelakinya sedang dalam amarah.

Bug

Bogeman keras mendarat di pipi ibra. Maisha menjerit seketika. Tangannya terulur ingin mengusapnya namun Ibra lebih dulu menampiknya.

"Dia kenapa? Apa hubunganmu dengannya?" Fauzan sungguh tak sabar.

Ahza geram dan maju selangkah, matanya memerah melampiaskan amarah, "Heh, Mas! Jaga sopan santun!"

Ah, Ibra kecewa, namun Ia sangat paham keadaan. Lelaki itu menahan perih dan menggandeng tangan mungil sang istri. Menjauh adalah keputusan terbaik.

Fauzan? Lelaki itu melongo memandangi keduanya? Banyak tanya dalam benaknya. Namun, tekad tuk mendekatinya sungguh kuat dan telah mengakar.

Detik ini, keduanya duduk dalam diam di bangku taman, di bawah pepohonan. Sesekali, Ibra meringis, tangannya setia memegangi pipinya yang memar.

"Apa nggak ada inisiatif untuk mengobati luka suamimu, Sha?" Ibra membuka obrolan, muak dengan diamnya sang istri.

Rumaisha menoleh. Gadis itu menyentuh punggung tangan sang suami, menciuminya penuh sesal.

"Maaf, kang. Ini salah, Maisha."

Ibra diam dan menghela napas. Sejenak, Dia membalas sentuhan tangannya, mengelus lembut jemarinya. Namun, percayalah, lelaki itu mampu merasakan sakitnya patah hati.

"Kamu tau letak salahnya dimana?"

Gadis itu mengangguk, "Maisha sudah berusaha menghindarinya, kang. Tapi dia selalu datang."

Ibra mengernyit seraya membatin, 'bukan jawaban seperti itu yang aku butuhkan, Sha!'

"Ayo pulang!"

"Ahza!"

Great, 2 bersamaan mengganggu hidupnya di waktu yang sama. Detik ini, Dia lebih kalut dari sebelummnya. Gadis itu memandang Ibra dan berbicara lirih.

"Ayo pulang, Kang!"

Ibra tersenyum smirk, menoleh ke arah gadis yang memanggil istrinya.

"Temannya Ahza?"

"I-iya, Bang," gadis itu menunduk malu.

"Duduk sini!"

Maisha melongo mendengarnya. Ibra membiarkan sosok Nadia duduk tepat di sebahnya. Meski terpisah jarak, namun hatinya begitu panas.

"Nad, kita pulang duluan. Kasian tuh pipi." Ucapanya kesal sembari menunjuk pipi sang Ibrahim.

"Hah? Kenapa itu, Bang? Sakit ya, Bang?"

Ibra tersenyum ke arahnya, sangat manis. Rumaisha pias, menggengam tangan Ibra dan msremasnya paksa.

"Ayo pulang."


.


.


.


.


Sesak, kecewa, bahkan menangis dalam diamnya. Ahza, kini menengkurapkan badan, menutup wajah dengan bantal.

Ibra mendekat, menepuk pundaknya pelan, "ada apa?"

Tampak bahunya bergetar hebat, Ibra semakin penasaran,

"Hey, kenapa?"

Lelaki itu membalikkan tubuh sang istri. Tampak wajahnya sudah penuh air mata. Ibra? Sungguh, Ia tak tahan melihatnya.

"Kenapa nangis? Ada yang salah kah?"

"Jauh-jauh sana, kang. Nggak usah peduliin Maisha!"

"Aneh ya. Seharusnya yang marah itu Aku. Kok jadi Kamu?"

Maisha hanya diam. Sedang Ibra sudah merasa lelah ditambah luka di pipinya yang masih terasa.

"Ya sudah, silahkan dilanjutkan nangisnya. Aku keluar dulu!"

Ahza melongo bercampur kesal. Dia bangkit dan mencekal tangan suaminya paksa. Tak sulit, tubuh sang lelaki tumbang begitu saja di atas ranjang.

"Astagfirullah, kenapa, Sha?"

"Kang Ibra ngeselin. Istri nangis malah di tinggal."

"Kamu kan yang minta."

Ibra menghela napas, mengatur kata, dan mendekapnya perlahan.

"Ada apa, hmm? Gara-gara Fauzan?"

"Jangan sebut namanya, kang? Kang Ibra mau keluarga kita kacau?"

"Nggak lah. Makanya cerita ada apa?" Ibra masih setia mengelus pundaknya.

"Kenapa Kang Ibra tadi senyum-senyum sama Nadia?"

Ibra melongo dan memandangnya lekat. Sedang Maisha masih setia memeluk pinggang sang suami.

"Hubungannya apa?"

"Kang, ih. Senyum kang Ibra itu musibah."

"Eh, kok gitu?"

Maisha semakin mengencangkan dekapannya, "Maisha cemburu, kang."

Sungguh, Ibra tertawa seketika. Maisha semakin kesal melihatnya.

"Kok ketawa sih, kang?"

Ibra diam dan berbisik, "kita impas sayang."

Maisha terbius akan ucapannya, sesaat Dia menyadari maknanya. Wajahnya sungguh liar dalam dekapan sang suami.

"Kang Ibra juga cemburu?"

Ibra menegakkan badannya, menangkupkan tangan pada kedua pipinya, "kamu benar, Sha. Ibra nggak bisa melihat Ahza bersama orang lain. Dan kamu tau itu artinya apa?"

Maisha tersenyum malu, serta mengangguk penuh haru. Ibra kembali merengkuhnya seraya mencium pucuk kepalanya,

"Kamu sudah berhasil merampas hatiku. Gadis konyol, yang berani mengirim surat tanpa malu, ingin dinikahi tanpa ragu. I'm yours."

Ibra menjeda dan membisikkan kata, "uhibbuki fillah, Ahza Rumaisha!"

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Senandung Cinta Rumaisha 17

Senandung Cinta Rumaisha 15