Senandung Cinta Rumaisha 17

 Tak mau lagi menciptakan tangisan, Rumaisha dan Ibra kini melaksanakan jamaah shubuh bersama. Ah, rasanya sulit jika menghentikan tangisan begitu saja. Nyatanya, rasa sakit masih terasa.

Usai shalat, Maisha mencium tangannya lekat, sedang Ibra sakit merasakan punggung tangannya telah basah akan air matanya.

"Kang, jangan diam saja!"

Ibra menghela napas berat, "apa yang akan kamu lakukan, Sha?"

Maisha mendongak dengan buliran bening yang sudah jatuh berceceran, "apapun yang Kang Ibra minta."

Ibra mengangguk, "temui Dia sepulang kuliah!"

"U-untuk?"

Ibra menyentuh tangan Maisha, menuntunnya tuk melekat tepat di dadanya, "ada jawabannya di sini."

Tes

Maisha paham betapa sakitnya hati Ibra. Gadis itu mendekat memeluk sang suami erat. Bibirnya merancau, meraung memohon maafnya.

"Maisha salah, kang. Maafkan Maisha. Maaf, sekali lagi maaf!"

Ibra bukanlah batu hingga begitu sulit luluh. Percayalah, Abdi ndalem itu sudah rapuh sejak dulu, maka dirinya paham betapa sia-sianya mengeluh.

Kini, tangannya terangkat, meski berat, lelaki itu tetap memeluknya erat.

"Menangislah!"

Ah, suara itu begitu menggetarkan hatinya. Tangisnya tak lagi terbendung. Bahkan Ibra sesekali ikut sesak, napas tersendal.

"Maisha sama sekali nggak tau, Kang. Wallahi!"

"Maaf, Sha. Ini terlalu rumit bagiku. Aku percaya padamu, tapi itu butuh waktu. Temui dia!"

"Untuk apa, kang?"

"Seperti kataku tadi, jawabannya ada di hatimu."


.


.


Jam 7 pagi, Maisha menyiapkan sarapan pagi dengan kepala pening. Sesekali, dia merintih saat tubuh mungilnya hendak tumbang. Apa daya, Rumaisha tak boleh lagi manja. Dia bukanlah peri kecil lagi Umma Buya, melainkan bidadari surga seorang Ibra.

Terlihat Ibra duduk di kursi sembari membaca buku di tangannya. Masih tampak jelas guratan kecewa di wajahnya, namun lelaki itu sungguh luar bisa. Dia mampu menyembunyikan luka, menekan egonya, demi keutuhan keluarga.

Namun, sekali lagi, hidup itu tak berhenti sampai di sini. Layaknya novel, akan ada part-part selanjutnya yang harus dilalui. Sedih, bahagia, insan hanya singgah dan menikmatinya juga meresponnya.

"Kang, makan dulu. Maaf seadanya, kepala Maisha pusing dari tadi."

Ibra mendongak, memandangnya cemas. Hanya 3 detik, Ibra pun berkutat dengan sajiannya.

Maisha duduk dengan lesu, tak ada lagi nafsu. Kini, dia hanya duduk membisu, merasakan hatinya yang begitu pilu.

"Makan, Sha!"

Satu kalimat namun mampu membuatnya sedikit bersemangat. Senyumnya terbit, Maisha mengangguk tanpa ragu.

"Kang, nanti ke ndalem?" Gadis itu mencoba membuka obrolan, memecah keheningan.

Ibra mengangguk, "butuh sesuatu?"

Gadis itu ikut mengangguk, "Maisha ingin dijemput!"

"Jam?"

"Jam 1 sudah selesai, Kang. Tapi, kata kang Ibra tadi-"

"Aku jemput jam 3. Cukup, kan?"

Maisha beku mendengarnya. Dia kalut sekaligus takut.

"Kang, apa sebaiknya sama kang Ibra juga?"

Tak ada jawaban. Bukan marah, Ibra hanya sedang menata hati juga menahan amarah.

"Sudah selesai makannya, Sha? Ayo berangkat!"

"I-iya, kang."


.


.


Dalam kampus, Maisha mengikuti pembelajaran tanpa semangat. Wajahnya begitu layu, pikirannya pun teramat buntu.

"Kenapa, Sha?" Nadia menyadari bahwa Maisha sedang tak baik-baik saja.

"Chat Alif gih, Nad. Aku lagi galau."

Nadia terkekeh mendengarnya, "lha kenapa nggak chat sendiri?"

"Please, jangan banyak tanya!"

"Iya, nyonya!"

Hingga pembelajaran usai, Maisha duduk di bangku taman. Tepat jam 1 siang, Alif tengah berjalan ke arahnya. Dia duduk sembari memandangnya heran.

"Ada apa? Kenapa mendadak minta aku kemari? Kangen ya?"

"Al, bisa minta sepupumu ke sini?"

Alif melotot, sejenak, gadis itu tersenyum, "ekhem, ada apa ini?"

"Benar, dia sepupumu?"

"Iya, lah. Ganteng, kan? Bentar Aku chat dulu."

Maisha hanya diam tak menyahuti ucapan temannya.

1/2 jam berlalu, sosok Pria dengan ransel hitam di bahu kirinya datang. Langkahnya begitu gagah. Surely, tiap pasang mata akan terkesimah.

"Bang," ucap Alif sembari melirik ke arah Maisha.

"Hai, Za! Tumben, ada apa?"

Alif seolah paham, dia bangkit dan hendak menghindar, "bang, aku tinggal dulu!"

"Al, sini aja! Maisha lebih dulu mencekal tangannya.

"T-tap,"

"Duduk, Al!"

Kaget, penyandang nama Alif itu mencelos mendengar nada suara Maisha yang penuh penekanan.

Maisha duduk tanpa memandang keduanya. Setelahnya, tangannya lihai mencari bingkisan hitam dari sosok Fauzan. Hatinya sakit, dilemparkannya begitu saja bingkisan itu tepat di wajahnya.

"Apa itu yang dinamakan pertemanan?"

Fauzan cengo, "apa ada yang salah?"

Maisha menatapnya begitu tajam, amarahnya berkobar, "sangat salah. Dari awal pertemuan sudah salah. Apa maumu, hah?"

"Duh, nggak beres ini. Sha, udah! Sabar dulu!" Alif mencoba menahan amarah gadis di sampingnya.

"Jangan ikut campur dulu, Al!"

Menyadari hawa yang sangat tak enak, Alif terpaksa menjauh.

Fauzan duduk dan memandangnya tanpa ragu, "masalahnya ada dimana, Za? Coba katakan!"

"Apa ada pertemanan sedangkan tanda itu sebuah berlian?"

"Hey, itu hanya kado ulang tahunmu. Percayalah, aku nggak ada maksud apa-apa."

Sejenak, bayang-bayang Ibra menangis membuat hatinya tersayat. Ucapan Ibra terngiang seketika.

"Temui dia!"


"Jawabannya ada di sini!"

Maisha mencoba menerka jawaban apa yang ada di hati. Hati? Yang tersimpan dalam hati adalah perasaan, begitulah ungkap Maisha tuk menggali maknanya.

Hati


Hati


Hati

Berulang-ulang Maisha mengucap kata itu dalam diamnya. Fauzan pun hanya bisa diam menunggu jawabnya.

Great, Maisha sadar akan 1 hal. Lidahnya begitu menggebu ingin mengungkap sebuah jawaban yang tersimpan rapat.

"Kamu tau, semua itu salah."

"Letak salahnya?"

"Kamu pria dan aku wanita."

"Lalu?"

Maisha memantapkan hati, "Aku adalah wanita bers-"

"Za!"

Gagal, nyatanya jujur itu tak semudah mengedipkan mata. Ya, itu karena hatinya yang masih berat, enggan tuk mengungkap. Maka tak salah saat hendak berucap, ada hal yang menghadang.

Ahza dan Fauzan menoleh seketika. Telah berdiri sosok Nadia dengan kecemasan luar biasa diikuti Alif di belakangnya.

"Ayo pulang!"

"Tap-"

"Please!"

Ah, dia terlalu menurut hingga mengabaikan tekadnya. Nadia menyeretnya hingga ke depan gerbang. Tepat sekali, pria dengan kemeja kotaknya sudah berada tepat di hadapannya.

"Bang, kebetulan. Maaf adeknya aku seret gini."

"Ada apa?"

"Nih, si Ahza berantem."

"Berantem?"

"Emm, itu, gimana yaa. Intinya Ahza debat sama cowok."

Ibra memahami makudnya dan memandang Maisha yang terus menunduk.

"Ayo pulang!"

Sejenak, Alif memasang wajah heran. 'Abang? Adek? Apa sih maksudnya?' Batinnya heran.

Saat Maisha hendak naik ke boncengan Ibra, Alif mencekalnya. Maisha tau apa yang ada di benak temannya saat ini. Biarlah, nanti akan ada saatnya, begitulah kata hati Rumaisha.

"Aku pulang dulu teman-teman. Assalamualaikum." Maisha berlalu tanpa mempedulikan Alif yang masih kebingungan.


.


.


Dalam kamar, setelah mandi dan merasa segar, Maisha duduk berselonjor di atas ranjang. Ibra yang duduk di kursi tepat di depan laci menatapnya lekat. Rupanya, lelaki itu sudah tak tahan mendiamkannya terlalu lama.

Dia mendekat, menepuk bahunya, "kenapa bengong? Mau cerita?"

Ah, kalimat yang menyejukkan. Maisha merindukan itu. Tanpa ragu, gadis yang merupakan istri Ibra itu menyenderkan kepala di bahu sang suami.

"Maisha gagal, kang."

Ibra menatapnya heran, "gagal kenapa? Tadi berantem beneran?"

Maisha tertawa miris mendengar itu, "Maisha nggak senekat itu sampe harus berantem, kang."

"Terus?"

"Maisha terlalu emosi. Maisha-"

Ibra segera merengkuh saat isakan itu mulai terdengar, "sudah, nangisnya di tahan dulu!"

Bukan diam, melainkan semakin terisak, "Maisha tau apa jawaban yang ada di hati, kang. Tapi Maisha gagal."

Ibra ikut sesak mendengarnya. Untuk kesekian kali, lelaki itu harus sabar dan mengalah.

"Maisha mau ungkap kebenarannya, tapi Nadia dan Alif lebih dulu datang dan menyeret paksa."

"Ssst. Artinya, itu bukan salah Maisha."

"Maisha yang salah, kang. Andai Maisha bisa langsung mengungkap tanpa emosi, mungkin masalah akan beres."

Ibra melepas pelukannya dan memandangnya lekat, "artinya, Allah masih ingin tau seberapa kuat kita, sayang."

"Tapi, Maisha nggak kuat, kang."

"Apa Maisha ingin menyerah?"

Maisha menggeleng dan kembali menangis dalam dekapannya. Ibra begitu erat merengkuhnya.

"Kita hadapi bersama. Andai teman-teman tau kalau Maisha sudah bersuami, nggak apa-apa?"

Sejenak, Maisha mengehentikan tangisnya. Gadis itu mendongak dan memandang netra suaminya.

"Kalau itu yang terbaik, Maisha siap, kang."

Detik itu juga, Ibra meneteskan air mata. Di depan gadisnya, Ibra tak kuasa menahan tangisnya. Ah, apa memang itu hasil kesabarannya selama ini?

"Trimakasih, sayang. Aku akan membantumu."

Malam yang begitu sunyi, membuat keduanya yang mulanya saling beradu kisah ingin mewujudkan malam asmaranya. Tangis yang mulai mereda, ditambah dekapan yang penuh cinta, membuat hati keduanya berdentum hebat.

Deg


Deg


Deg

Ibra mendekatkan wajahnya tepat di ceruk lehernya sedang Maisha meremang merasakan napasnya yang kian menderu. Tak bisa mengelak, gadis itu pun ingin mewujudkan malam indah bersamanya, kekasih yang sudah halal sejak 6 bulan yang lalu.

"Boleh?"

Tak ada kata ragu, hatinya sudah kuat, cintanya sudah begitu melekat, maka itulah saatnya bagi Ahza Rumaisha tuk menjadi separuh nyawa Muhammad Ibrahim seutuhnya. Ya, dia mengangguk tanpa ragu.

"Sholat sunnah dulu!" Bisik Ibra begitu lirih.

Hubungan indah, kisah indah, akan jauh lebih indah dan berkah jika dimulai dengan asma Allah. Ya, keduanya kini bermunajat, berdoa, dan berharap kebaikan bersama.

Ibra menoleh saat Maisha menyentuh dan mengulurkan tangannya. Gadis itu mencium ta'dzim seraya meyakinkan bahwa Dirinya siap memberikan apa yang seharusnya lelaki itu dapatkan.

"Biidznillah, kang."

Lelaki itu memeluknya penuh haru, "uhibbuki fillah, sayang!"

"Uhibbuka fillah!"

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Senandung Cinta Rumaisha 14

Senandung Cinta Rumaisha 15