Senandung Cinta Rumaisha 12

 "Masak apa, Sha?"

"Ayam goreng spesial, dong. Tapi nggak tau rasanya," ucapnya terkekeh, "nih, Maisha lihat di youtube."

Ibra mendekat dan mencubit pipinya gemas, "duh, istriku mulai rajin."

"Kok gitu? Emang kemarin nggak rajin, ya?"

"Hmm, salah lagi. Diem bae lah."

Bukan marah, gadis itu justru tertawa sedang Ibra duduk menggeleng menyaksikan tingkahnya.

"Kang, sini deh!"

Lelaki yang dipanggil pun mendekat, "ada apa?"

"Bantuin, Maisha."

"Sini! Bantuin apa? Menggoreng? Ngiris bawang? Atau apa?"

"Eh bukan, Kang!"

"Terus?"

"Pipi Maisha gatel, kang. Tangan Maisha kotor."

"Iya, terus?"

"Ih, nggak peka banget. Bantu garuk, kang!"


Ibra membeku sejenak, lalu terbahak memahami maksudnya, "Allah... Maisha, Aku pikir apa."

Setelahnya, Ibra mengangkat tangannya dan menggosok perlahan pipi chubby sang istri.

"Masyaa Allah, indahnya dunia ini," ucap Maisha sembari menggoreng.

Mendengar itu, Ibra mencubitnya gemas, "modusnya mulai!"

Hingga aktivitas perdapuran usai, Rumaisha tengah menatanya sedang Ibra duduk memandang. Sesaat, gadis itu tampak salah tingkah. Sesekali, Dia menunduk dan tersenyum malu.

"Kang, jangan lihatin Maisha terus, ih! Malu!"

"Malu tapi mau. Bener, nggak?"

"Kok nyebelin sih, kang?"

"Bawaan dari lahir, Sha."

Bahagia sesederhana itu. Melihat orang yang dicinta tertawa, melepas gundah. Munculnya bahagia bukanlah sebuah hasil melainkan hadiah atas sebuah usaha, usaha tuk melepas duka dan berganti tawa. Sungguh sempurna jalan semesta hingga mata tak mampu mebacanya begitu saja.

Dengan makanan sederhana, Ibra dan Rumaisha menyantap tanpa kata. Sesekali, netra keduanya bertemu, lalu menoleh ke sembarang arah seketika. Layaknya, remaja jatuh cinta. Ah, bukankah keduanya memang berstatus remaja? Remaja yang terikat hubungan sah.

"Kenapa lirik-lirik gitu?"

"Kang Ibra juga lirik-lirik."

"GR!"

Maisha hanya menyengir mendengar ucapan Ibra.

"Hari ini jadwal kuliah jam berapa, Sha?"

"Jam 9, Kang. Kenapa?"

"Nggak apa-apa, kebetulan sedang nggak ada tugas di ndalem. Nanti Aku antar."

"Siap!"

Sesuai jadwal, jarum jam menunjuk tepat di angka 9, Maisha telah rapi dengan gamis abunya. Tampak khimar dengan warna senada melekat indah, menambah keanggunan parasnya.

"Setiap hari dandan secantik ini kalau kuliah?"

"Kenapa, Kang? Emang Maisha sudah cantik sejak lahir kok."

Ibra mengacak kerudungnya pelan, "dasar! Ayo berangkat!"

Dengan berbekal ongkos seadanya, Rumaisha sempatkan mengucap hamdalah. Setidaknya, Ia masih berdiri tegak tanpa adanya derita seperti mereka di luaran sana.

Kendaraan beroda dua itu menjadi saksi seorang Ibra begitu mempedulikan sosok Ahza. Ya, lelaki itu mengurangi rasa jaimnya, meminta sang gadis memeluk pinggangnya. Meski canggung menyapa, setidaknya hati mereka bersorak gembira.

Tiba di bangunan bernuansa hijau, Rumaisha turun dan memperhatikan sekitar. Sejenak, Ia mengulurkan tangan dengan keraguan. Ibra? Rasa heran hinggap tanpa menunggu perintah.

"Kenapa?"

Maisha hanya menggeleng, berharap Ibra cepat merespon tangannya.

"Sha, cincin mana?"

See, Ahza kelabakan. Sejenak, gadis itu menunduk, sibuk merangkai jawaban.

"Sha, jangan menunduk terus! Cincin mana? Kenapa nggak dipakai?"

Gadis itu mendongak dengan wajah takut juga sesal.

"Kenapa hanya diam? Hilang?"

Rumaisha menunjuk area lehernya yang tertutup khimar lebarnya.

"Maksudnya?"

"Cincinnya ada di kalung, kang," ucapnya lirih.

"Kok bisa? Bukannya tempat cincin itu di jari ya? Sejak kapan pindah posisi seperti itu?"

Rupanya sosok Ibra menganggap itu sebagian dari tingkah absird sang istri. Percayalah, Ahza takut senyuman itu pudar seketika.

"Kang, maaf. Maisha, emm, belum siap."

"Untuk?"

Saat hendak menjawab, sosok gadis berkerudung biru datang menghampiri, "Ahza!"

Sejenak, gadis itu memandang Ibra dan berpindah ke Ahza, "Abangmu, Za?"

Kikuk, Rumaisha tak mampu berucap sepatah kata. Sedang Ibra ikut tertohok dengan sederet pernyataannya. Menyadari ada yang tidak beres, Ibra segera menyalakan sepeda dan memansang gadisnya,

"Aku pulang dulu. Assalamualaikum!"

Hatinya sakit, idamannya pergi dalam keadaan yang teramat rumit. Ada apakah gerangan?

"Sha, Abangmu ganteng juga."

"Diem! Ayo masuk!"


.


.


Tak seperti sebelumnya, kegundahannya bertambah pekik saat datang kabar pengalihan jadwal. Ya, Maisha terpaksa pulang malam. Detik ini, jam 20.30, Maisha duduk terdiam. Tangannya mengetikkan angka pada soso pria yang mungkin telah menunggunya di rumah.

Me


Assalamualaikum, Kang. Maisha baru selesai. Kang Ibra bisa jemput?

Ah, sejak kapan gadis itu manja dan meminta sang suami datang menjemputnya? Hingga 5 menit, 10 menit, 15 menit, tak ada balasan. Jarum jam hampir menunnuk angka 9, Maisha bingung juga kalut.

"Mari, Aku antar!"

Suara berat sosok pria mengagetkannya. Maisha mendongak heran, seolah bertanya siapa Anda.

"Aku Fauzan, dari fakultas ekonomi."

Rumaisha hanya mengangguk, sesekali matanya liar memeriksa benda pipihnya.

"Hampir jam 9, mari!"

'Kang Ibra dimana? Jemput Maisha, kang!' Batinnya berteriak ketakutan.

"Nggak usah takut, Aku nggak gigit. Ayo, sebelum Aku berubah pikiran!"

Tak ada pilihan, Maisha bangkit dan mengikuti langkahnya. Sejenak, Dia berhenti seketika saat menyadari kendaraan apa yang ditumpanginya.

"Kenapa? Berharap naik mobil mewah?"

"Eh, bu-"

"Naik atau Aku tinggal!"

Bak robot, Maisha tampak kaku namun menuruti settingannya. Gugup serta takut menyerangnya bergantian. Tak ada obrolan selama perjalanan. Hingga tampak hunia sederhana, Fauzan menghentikan sepeda dan memandangnya penuh tanya.

"Bener ini?"

Gadis itu hanya mengangguk dan melangkah masuk. Namun, Ia kembali menghampirinya.

"Trimakasih!"

Just that, Dia kembali berlari sedang sang Pria hanya melongo memandangnya.

"Gadis unik," monolognya.

Memasuki rumah, tak disangka, sosok Ibra telah berdiri bersendekap lengkap dengan jaket kulitnya. Bisa ditebak, lelaki itu hendak keluar. Sedang Maisha beku, menyadari ada yang salah.

"Kang, tadi-"

"Masuk!" Pelan namun menyakitkan.

Lelaki itu langsung masuk sedang Maisha mengikutinya. Sejenak, Dia berdiri menunduk tepat dihadapannya. Terdengar helaan naoas berat Ibra.

"Bersihkan diri dulu, lalu sholat!"

"I-iya, Kang."

Hal paling menyakitkan adalah saat Dia yang disayang dengan tega mendiamkan, bicara tak banyak kata, hingga mencubit hatinya.

Usai berbenah diri juga menghadap Ilahi Rabbi, Rumaisha mendekat ke arah suami.

"Sudah makan, Kang? Maisha siapkan, ya,"

Andai mengeluh tak memperkeruh keadaan, Dia ingin sekali mengeluarkan segala kata tuk mengekspresikan semua lelahnya.

Ibra hanya diam dan bangkit mengambil 2 box dalam plastik, "Ayo makan dulu! Tadi ada rejeki."

Setidaknya, ucapan itu mampu menghangatkan hatinya, Ahza pun mampu menelan makanannya tanpa susah payah.

Usai makan, Ibra memasuki kamar sederhanya, sedang Rumaisha setia mengikutinya.

"Kang,"

"Aku sudah siap. Jelaskan semuanya, Sha!"

Rumaisha mengatur kata agar tak ada perselisihan diantaranya.

"Namanya Fauzan, dari fakultas Ekonomi. Maisha sama sekali tak mengenalnya."

"Lalu?"

"Maisha nunggu Kang Ibra. Hari semakin gelap, tak ada lalu lalang tumpangan sedang Kang Ibra tak mengirim pesan. Maisha takut."

Tak kuat, gadis periang itu kini menangis sesenggukan. Layaknya Umma Humaira, panick attack begitu mudah menggerogotinya meski tak separah ummanya.

"Kang, Maisha salah. Maisha minta maaf."

"Final. Lanjut penjelasan kedua sekarang!"

"Maksudnya?"

"Cincin, Sha!"

Maisha mendongak dan berusaha mencairkan suasana meski takut melanda.

"Bisa buka kerudung Maisha, Kang?"

"Kenapa nggak buka sendiri? Tumben juga mau membuka kerudung di depanku."

"Kang Ibra mau tau jawabannya, kan?"

Ya, lelaki itu pun mendekat. Tangannya sedikit gemetar menyibak kain yang menutupi mahkota indahnya.

'Maasyaa Allah!' Batinnya riang.

Rumaisha berbalik arah sedang tangannya sibuk merogoh area lehernya. Tampak benda gold yang melingkar indah di leher dengan benda lingkaran yang tergantung manis.

"Cincinnya di sini, kang. Percayalah, meski Maisha belum siap mengungkap status ini, Kang Ibra tetap di hati Maisha." Ucapnya sambil memegang cincin pemberian sang suami.

Ibra tak bisa berkata apa-apa. Ada rasa kecewa namun juga bahagia. Entah harus bertindak seperti apa, lelaki itu masih setia dengan diamnya.

"Kang, jangan diam! Bicaralah. Mending langsung marah agar Maisha paham letak salahnya dimana."

Rumaisha mendekat dan merenkuh suaminya, berharap tanhan kekarnya mengelus punggungnya seperti sedia kala.

1 detik


2 detik


3 detik

Ibra kalah, egonya tak sebesar rasa ibanya. Iba? Atau justru cinta? Entahlah, lelaki itu sulit mengakuinya. Satu hal yang pasti, rasa sayang itu sudah ada tanpa embel-embel dusta.

"Kenapa harus menyembunyikan status? Apa malu?"

Maisha mendongak, "bukan, Kang."

"Lalu?"

"Maisha hanya merasa masih terlalu kecil. Maisha juga ingin merasakan bebas seperti teman-teman. Apa salah, kang?"

Ibra memandangny lekat, "kalau seperti itu, Maisha telah membuka peluang untuk para pria. Apa hatimu sudah kuat?"

"Kang Ibra meragukan cinta Maisha?"

"Kamu masih terlalu polos, Sha!"

Tampak air matanya sudah mengering, binar mata jua kembali terbit. Maisha, gadis yang riang, tetap mencoba memecah keheningan. Kini, Ibra berbaring dengan tangan sebagai bantalnya.

"Kang." Panggilnya sembari menggoncang bahu Ibra.

"Hmm."

"Jangan marah lagi!"

"Sedikit!"

Maisha menunduk, "Maisha harus apa biar marahnya hilang?"

"Tidur, Sha!"

Maisha menurut, berbaring dengan sedikit menyibakkan rambutnya. Sedang Ibra tampak salah tingkah, bagaimanapun, Dia lelaki biasa yang mampu merasakan getaran indah.

'Nih anak nggak tau keadaan,' batinnya berdecak.

"Kang."

"Apalagi, Sha? Mau suamimu tambah marah?"

Gadis itu mendekat dan menarik tubuh sang suami, "hadap sini, ih!"

Deg

Jarak yang sungguh dekat, Rumaisha gugup seketika begitupun Ibra. Lagi-lagi, tingkahnya adalah bumerangnya.

Ibra memahami hawa yang berbeda. Lelaki itu berkali-kali berucap istighfar lirih.

"Kang, ada setan ya?" Maisha berusaha biasa.


"Astaghfirullah! Mana ada, Sha?"

"Lha, kenapa Kang Ibra istighfar terus dari tadi?"

Ah, rupanya Ahza mendengar dan melihat kegugupannya. Ibra pun sigap mendekap bidadarinya, sangat rapat.

"Gara kamu!"

Maisha terkekeh, "kang Ibra bisa gugup juga! Kita sama, Kang."

"Diem, Sha! Atau Aku buat kamu nggak tidur semalaman!"

"Eh, ayo tidur kang suami!"

Ibra terkekeh dan membatin, 'Sabar Ibra!'

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Senandung Cinta Rumaisha 14

Senandung Cinta Rumaisha 17

Senandung Cinta Rumaisha 15