Senandung Cinta Rumaisha 8

 Keep going! Never stop even each step will be much harder! Masa putih abu telah usai, namun perjuangan belum usai. Mungkin kala itu menghabiskan banyak malam hanya untuk merampungkan tugas dan hafalan, namun esok akan ada siang dan malam panjang untuk berjuang.

See, Ahza Rumaisha telah berdiri dengan anggunnya di atas podium dengan menenteng benda gold di tangannya. Gadis periang yang tak mau berhenti berjuang kini telah menang.

Dia tersenyum indah, mempersembahkan kata dan ungkapan rasa untuk mereka yang Ia sayangi. Gema sorakan dan tepuk tangan memenuhi aula. Semua mata tertuju padanya. Ah, Rumasiha sungguh beruntung akan semua itu.

"Sayang, selamat ya!"

"Peri kecilnya Buya hebat. Selamat, Nak!"

"Trimakasih, Umma, Buya."

Sejenak, mata Maisha liat ke segala arah. Ada sosok yang Ia nantikan hadirnya. Namun, entah dimana sosok itu sekarang.

"Cari Kang Ibra?" Buya mengagetkannya.

"Hehe, Buya kok tau sih."

"Cyee, anak Buya sudah dewasa."

"Umma, Buya ini lho suka banget godain Maisha."

"Buya emang gitu, sayang!"

Great, Pria yang Ia nanti tampak berjalan ke arahnya. Lelaki itu berjalan dengan gagah dengan tangan bersembunyi dalam saku celana kokonya. Peci hitam itu selalu bertengger di atas kepala membuat wibawanya tampak semakin kentara.

"Ekhem, kekasihnya datang nih, Umma!"

Maisha mengulum senyum sembari menunduk malu.

"Assalamualaikum Umma, Buya!"

"Waalaikumsalam, Nak!" Jawab Umma Buya serempak.

Sesaat, Ibrahim melirik gadis di sampingnua dan berdehem sungkan.

"Ekhem, emm, Maisha, selamat ya. Kamu hebat!"

"Cyeeee!"

"Buya, ih. Maluuu!"

Tak hanya Maisha, Ibra pun tampak salah tingkah. Rupanya, sang Buya begitu suka menggoda peri kecilnya. Sedang sang Umma hanya tersenyum melihatnya.

"Yuk, kang kesana! Ada nyamuk di sini." Ajak Maisha sembari merajuk

"Eh, ngapain?" Tanya Buya pura-pura tak paham.

"Mau pacaran."

Tak bisa mengelak, semua yang mendengar tertawa lebar.

Mau tak mau, Ibrahim mengikuti langkah kaki gadisnya, "Ibra permisi dulu, Umma, Buya!"

Tibalah di ruangan sang suami. Maisha bernapas lega dan duduk di atas kasur lantainya.

"Main nyolonong aja sih, Sha?"

"Maaf, Kang. Maisha malu digodain terus sama Buya."

Ibra mendekat dan mengacak kepalanya, "dasar!"

Sedang Maisha merasakan lelah dan segera dudui berselonjor.

"Oh ya, selamat. Kamu hebat! Salut Aku."

"Hadiah, dong."

"Hadiah apa?"

"Terserah. Pokoknya hadiah."

Ibra pun mendekat dan menoel hidung lancipnya, "besok aja."

Gadis itu terlalu riang hingga memeluknya begitu erat, tak peduli bagaimana kerasnya Ibra memberontak.

"Makasih, Kang Suami. Tambah cinta deh."

"Eh, eh, lepas dulu, Sha. Bisa mati ini." Ucapnya sembari melonggarkan tangan istrinya.

"Maaf, Kang. Terlalu semangat ini." Maisha hanya tersenyum memandangnya.

"Balik, yuk. Nggak enak sama Umma Buya."

"Biarin, Kang. Kita di sini aja," Maisha mendekat dna berbisik, "pacaran hihi."

"Astaghfirullah, Maisha!" Ibra hanya geleng mendengarnya.

"Kenapa, kang? Kok kaget gitu?" See, bahkan Maisha dengan polosnya menanyakan itu.

"Banyak setan di sini. Yuk, balik!"

"Nggak!"

"Sha, ayo!"

"Nggak!"

Ibra menghela napas dan mendekat, "istriku sayang, besok Kita jalan-jalan, pacaran sepuasnya. Mau?"

Maisha berlonjak kegirangan, "bener, Kang?"

"Bener, janji deh! Sekarang ayo balik, dulu!"


.


.


.


Saat seseorang menjanjikan sebuah kebahagiaan, di situlah muncul sebuah harapan. Harapan akan begitu nyata saat Dia yang diinginkan datang tuk turut menggapainya. Terasa ringan, layaknya kertas dimana Kita menulisnya bebas.

Ada yang bilang, rumah tangga akan terbentuk sempurna meski tanpa hadirnya cinta. Is it true? Percayalah, membangun rumah tangga layaknya berjuang di tengah hamparan lautan. Gelombang akan selalu datang entah kapan, detik ini, menit ini, atau 1 jam mendatang. Sedang perahu adalah rumahnya. Ketika cinta tak ada seutuhnya, menggayung bersama pun terasa berat. Tak ada rasa tuk saling melindungi jua mengasihi.

Namun, akan berbeda jika cinta itu sudah ada dan mengakar. Tanpa bertanya, keduanya menggayung bersama. Tanpa aba-aba, keduanya tetap mengarungi samudera bersama, ada atau tidaknya gelomnang. See, indahnya berjuang dengan cinta!

"Kang, bahagia nggak sama Maisha?"

Pertanyaan konyol yang terucap dari sang istri membuat Ibra mengernyit bingung.

"Kenapa tanya gitu?"

"Ya, siapa tau bahagianya terpaksa."

Ibra memandangnya lekat, "Insyaa Allah bahagia. Percaya?"

"Emm, percaya deh."

Dalam kamar, setelah haflah serta wisuda usai, keduanya memutuskan langsung pamit pulang, mengikuti Umma Buya. Kini, Ibra jua Ahza duduk saling pandang serta berbagi kisah.

"Kang, tau nggak kenapa Buya begitu mencintai Umma?"

"Kenapa emang?"

"Umma itu cinta pertama Buya dan jalan surganya. Sweet banget, kan?"

"Terlihat kok dari caranya memperlakukan Umma, begitupun sebaliknya."

"Kalau kang Ibra bagaimana?"

Ibra melotot seketika, "apanya?"

"Cinta nggak?"

Sungguh, detik ini, Ia seolah tak mampu berucap apa-apa, "pertanyaan konyol. Bobok, yuk!"

"Kang, ih! Jawab dulu!"

Ibra segera meraih tubuh mungilnya hingga tertidur tepat di atas dada bidangnya.

Cup

"Cerewet!"

Ia pun membalikkan badannya dan terbaring sempurna tepat di sebelahnya. Sedang Maisha masih mematung dengan tangan setia memegang keningnya. Jantungnya berdetak tak normal seketika.

"Kang, Maisha sakit jantung!"

Ibra tertawa mendengarnya dan mendekat, "dengar, jangan pernah tanya itu lagi. Aku sudah bilang, Aku sudah menyayangimu. Yakinlah, cinta itu akan tumbuh."

Sesaat, tawa Maisha berhenti seketika, wajahnya begitu sendu. Dia menatap suaminya nanar,

"kok nyesek ya, Kang."

Ibra memeluknya erat, "kok sedih, senyum dong! Kamu itu hebat, sudah mampu mengubah dunia Ibra penuh warna."

Maisha mendongak dan tersenyum bahagia, "Kang, Maisha akan menjadi Rahmah untuk Kang Ibra."

"Rahmah?"

"Hmm, nggak tau ya? Pinter-pinter kok lola." Godaya sambil menenggalamkan wajah dalam rengkuhan sang suami.

Ibra tersenyum dan mencubit hidungnya pelan, "ngejek banget, sih. Coba katakan siapa itu Rahmah, pengen dengar."

"Istri nabi Ayyub."

Sungguh Ibra tersenyum dang menghangat seketika. Percayalah, lelaki itu bukan bodoh hingga tak tau betapa mulianya wnaita yang disebut istrinya.

"Terus?"

"Wanita mulia, begitu tulus pada nabiyullah, di saat suka maupun duka. Katanya, bentuk kecintaan pada Allah adalah bersyukur padaNya. Tak pernah mengeluh, bahkan rela bekerja keras saat nabiyuah terbaring sakit."

Ibra mempererat pelukannya, "pinter banget, sih."

"Kang, Maisha juga tulus, lho. Bagaimanapun keadaan Kang Ibra nanti, Maisha siap mendampingi."

Entah sudah seperti apa hatinya, mata lelaki itu mengembun. Dia pun menciun kening istrinya dengan lembut.

"Aku beruntung memilikimu. Kita berjuang bersama, ya!"

Masiha bangkit dan memandang suaminya lagi, senyumnya mengembang, dan tangannya menyentuh kening sang suami.

"Nggak panas, kok. Tapi aneh."

"Aneh kenapa?"

"Kang Ibra romantis."

Ibra berdecak gemas, "serius lho, Sha. Ya sudah, berubah cuek lagi aja."

"Eits, nggak boleh. Maisha suka gini." Ujarnya sembari menggoncang bahu Ibra.

"Duh, duh, lepas, Sha!"

"Janji dulu!"

Ibra duduk dan menyentuh pundaknya, "janji sayang! Yuk, bobok!"

"Aaaaa, Maisha gemes." Ujarnya sembari memeluk sang suami.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Senandung Cinta Rumaisha 17

Senandung Cinta Rumaisha 14

Senandung Cinta Rumaisha 6