Senandung Cinta Rumaisha 7
Melegakan, seolah habis terperangkap dalam sangkar, kini Rumaisha bisa bernapas bebas. Total 1 minggu berkutat dengan imtihan di sekolah serta pondok, membuat otaknya mendidih seketika. Namun, tidak untuk sekarang.
Detik ini, Dia berdiri ditemani sang suami, memandangi indahnya aliran sungai. Suguhan cokelat dingin dan beberapa camilan menambah hawa kebersamaannya. Ya, Ibra menjanjikan liburan ringan setelah imtihan usai.
"Berasa pacaran ya, Kang?"
"Uhuk!" Ibrahim tersedak mendengar penuturan istrinya.
"Kenapa, Kang?"
"Nggak apa-apa. Heran aja sama Ahza ini, ngomongnya selalu bikin orang jantungan." Ucapnya menahan tawa.
"Lha, kan emang bener, Kang. Pacar halal, ya nggak?"
Ibrahim menyentil keningnya gemas, "bocil, mikirnya pacaran aja."
"Sudah besar, lho kang. Sudah jadi istri orang malah."
"Diem, Sha! Mau, suamimu tersedak lagi?"
Obrolan yang menyenangkan, bukan? Entahlah, dunia Ibrahim menjadi penuh tawa semenjak mengenalnya. Suka atau tidak, matanya tak bisa jauh dari jangkauannya. Terlebih, sang Rumaisha sudah begitu menjeratnya meski dengan tingkah kekanakannya.
"Kang!"
"Hmm."
"Nanti, kalau Maisha dapat juara, minta hadiah. Boleh?"
"Nggak punya uang."
"Pelit!"
"Pelit kok cinta."
"Kang, ih. Maisha gak bisa bantah kalau sudah bilang gitu."
Gemericik air semakin menjadi seolah bertepuk riang melihat tingkah sepasang kekasih itu. Sungguh beruntung, saat seseorang mampu menjaga diri untuk kekasih yang ditakdirkan Ilahi.
"Balik, yuk! Takutnya Gus Raihan nyari."
"Ok deh. Kapan-kapan pacaran lagi ya kang."
"Astaghfirullah. Diem ah, Sha! Lama-lama jatungan beneran ini."
Senyum Rumaisha terbit begitu saja mendengar ocehan sang suami. Bukan marah, melainkan berujar dengan gemas.
.
.
.
Tiba di asrama putri, Rumaisha memasuki kamar dengan senyum tanpa henti. Alif, teman yang cukup dekat dengannya manaruh curiga.
"Senyum-senyum kenapa, Sha?"
"Nggak apa-apa. Aku lagi seneng banget, Al!"
"Kenapa?"
"Ada deeh. Belum saatnya kamu tau."
Alif hanya mengedikkan bahu heran.
Setelahnya keduanya duduk dan simakan bersama. Ah, Rumaisha akan merindukan masa ini. Setiap malam harus terjaga tuk taqror bersama, roan tiap jumat pagi, hingga muhadatsah. Sungguh, kehidupan pesantren begitu meneduhkan. Tiap langkah menjadi berkah, apalagi menjadi sosok santri ta'dzim, sam'an wa tho'atan.
Jam 8 malam, kini semua santri berkumpul di mushollah tuk mendengar muqoddimah dari sang Kyai. Rupanya, acara khidmat ini menentukan masa depan para pencari ilmu.
Seminggu dari sekarang, Mereka, termasuk Rumaisha, akan lepas dari tanggung jawab kyai dan asatidz/asatidzah. Percayalah, lepas bukan berarti bisa berlarian bebas karena sejatinya seorang santri tetap terikat kuat dengan pembinanya.
"Sha, seminggu lagi kita wisuda sekolah plus pondok. Seneng, deh!"
Rumaisha hanya bengong dan menerawang, bayang-bayang awal menginjakkan kaki di bumi pesantren tampak jelas. Rumaisha kecil meraung ikut sang Buya pulang. Kini, Dia menjadi sosom Ahza yang dewasa.
"Sedih juga ya, Al. Pasti kangen masa-masa ini."
Dua gadis itu pun berpelukan saling menumpahkan rasa.
Program pun selesai, para santri/santriwati kembali ke asramanya masing-masing. Sekali lagi, Rumaisha harus kembali telat karena panggilan Ibrahim.
"Ada apa, Kang? Suka banget ngajak ketemuan!"
Ibrahim hanya berdecak agar istrinya segera diam, "ditimbali Gus, ayo ikut!"
Rumaisha kaget seketika. Pasalnya, gadis itu masih terlalu malu dengan kekonyolannya pada malam sebelum dirinya sah menjadi istri sosok Ibrahim.
"Mau ngapain, Kang? Maisha malu." Rajuknya sambil berjalan tepat di belakang Ibra.
"Tenang, paling juga diberi wejangan entar."
Tiba di ruang tamu ndalem, keduanya duduk ta'dzim, menunduk tepat dihadapan Gus kebanggaannya.
"Ibra, sampean sudah tinggal di pondok sejak kecil. Keluarga Ndalem juga sudah terbiasa dengan sampean. Sebenarnya, Abah mintanya kang Ibra tetep bisa ngabdi di sini. Tapi, semua kembali pada sampean, karena sudah punya kehidupan baru."
"Nggih, Gus!"
"Nduk Rumaisha,"
"Nggih, Gus?"
"Bahagia sama Kang Ibra?"
'Nih Gus rese' amat tanya gini. Umma, Maisha jawab apa ini?' Dia membatin sebal.
Ibra menyenggol bahunya pelan, sedang Maisha menunduk takut. Mulutnya terasa berat dan bergetar.
"N-nggih, Gus, bahagia."
"Mau menerimanya apa adanya?"
"N-nggih."
"Dengar, Ibra ini pria biasa, umurnya juga masih muda. Sampean harus bisa menghargai jerih payahnya. Mampu?"
"I-insyaa Allah, Gus."
"Kalau suamimu masih bantu-bantu ngajar di sini, diizinkan?"
Sejenak, Maisha melongo dan bingung harus menjawab apa.
"Nggak harus tinggal di sini. Di mana saja, tapi saya harap masih mau berbagi ilmu di sini. Bagaimana, Nduk?"
"Saya nggak ada hak melarang kang Ibra, Gus. Selagi niat dan tujuannya bagus, saya mendukung."
Sungguh, Ibra menghangat mendengar pernyataan istrinya. Rasa bahagia menjalar begitu saja. Rupanya, Dia tak salah memilih sosok Rumaisha, begitulah yang dikatakan hatinya sekarang.
"Alhamdulillah."
Kini, keduanya berpamitan dan berjalan keluar beriringan. Tiba di depan ruangan Ibra, Rumaisha ikut menghentikan langkah.
"Kang, Maisha masuk ya?"
"Ada apa? Mending balik mumpung belum kemaleman!"
"Nggak boleh, berarti?"
"Kan, ngambeknya kumat! Yuk, masuk!" Ibra menggandengnya masuk sedang Maisha tersenyum penuh kemenangan.
Gadis itu duduk bersandar dan menselonjorkan kaki. Ibra pun ikut duduk di sebelahnya.
"Ada apa, hmm?" Tanyanya sambil menyentil keningnya pelan.
Rumaisha berbisik dan terkekeh, "masih kangen!"
"Ya Allah, Maisha! Ada-ada aja."
"Daripada kangen kang santri lain, pilih mana?" Rumasiha bertanya dengan mata menggerliang.
"Kalau Maisha kangen kang santri lain, aku punya hak kangen neng santri lain lah."
"Eits, big no, Kang! Kangennya cuma boleh sama Ahza Rumaisha, paham!"
Ibrahim tertawa melihat tingkah menggemaskan istrinya. Ah, gadis kecil itu mampu mengubah dunianya yang sepi menjadi penuh tawa bahagia.
"Dasar, Ahza! Nggak mau balik?"
"Kali ini aja, Kang. Jangan ngusir Maisha!"
"Bukan ngusir, sayang! Nggak enak aja sama yang lain."
Rumaisha cengo, "Bilang apa tadi?"
"Bilang apa?"
"Itu, tadi lho, kang?"
"Nggak tau. Lupa!"
"Ibra ngeselin!"
"Biarin!"
"Kang, ih. Tadi bilang apa?"
Ibrahim diam dan memandangnya lekat, tangannya bergerak dan memegang bahunya,
"sayang."
Rumaisha tak bisa bergerak, hanya diam tanpa berkedip.
"Nha, shock lagi. Hey, sadar!"
Gadis itu pun tersenyum lebar dan memeluk suaminya riang, "aaaa, Maisha juga sayang hehe."
Ibra justru shock dan tak bisa berkutik akibat perlakuan gadisnya.
'Nih bocah nggak tau keadaan amat ya?' Batin Ibra gemas.
"Kang?"
"Hmm."
"Sayang Maisha, nggak?"
"Nggak."
Rumaisha melepas pelukan dan memandangnya dengan cengo, "seriously? Maisha patah hati, dong."
Lelaki itu terkekeh, "kalau nggak sayang, dari awal sudah aku buang ke laut."
Seketika, Maisha mencubit perutnya sedang Ibra tertawa geli.
"Sha, sudah! Ampun!"
"Ngeselin, sih."
"Iya, iya. Dengar, Kang Ibra ini sayang Rumaisha, paham?"
"Bener? Nggak bohong, kan?"
Ibra mengacak kerudungnya dan merengkuhnya penuh kasih,
"insyaa allah, suamimu ini sudah mulai sayang sama Maisha. Jangan sedih lagi!"
Maisha mendongak dan mencium pipinya gemas, "gemes, deh. Maisha bobok sini, ya?"
"Bociiill! Ya udah, bobok, gih!"
Keduanya pun berbaring, saling pandang dan tersenyum riang. Ada doa yang terselip bahwa esok akan ada kehidupan yang jauh lebih indah.
Komentar
Posting Komentar