Senandung Cinta Rumaisha 6

 Selamat pagi dunia! Mentari telah bertengger dengan senyum khas dan sinar keemasannya. Dunia, tak akan berwarna tanpanya. Tiap insan mengidamkannya. Sosoknya selalu dipuja, dikejar, bahkan diabadikan saat hendak tenggelam dalam lautan jingga.

Mentari, ciptaan Tuhan yang membersamai langkahnya, mengais ilmu jua merajut beribu kisah. Ahza Rumaisha, berdiri di tengah gerbang sekolah dengan senyum mengembang. Tak terbayangkan sebelumnya, minggu yang Ia lewati kini menjadi minggu terakhir sebelum moment mendebarkan tiba.

"Alhamdulillah. Semoga berkah, ya Allah."

Saat hendak melangkah masuk, sosok pria memanggilnya pelan.

"Sha, sini!"

Rumaisha memandang sekitar hingga keadaan aman. Tak lama, dirinya melangkah ke ruangan sebelah toko buku. Dia mengendap masuk, takut jika ada yang diam-diam memperhatikannya.

"Ada apa, Kang?"

"Minggu ini pelajaran efektif terkahir, kan?"


Gadis itu mengangguk.

"Berarti minggu depan ujian?"

"Iya, Kang."

Entah apa yang merasuki sang pria, tangannya terdorong begitu saja tuk menggenggam erat jemari Rumaisha.

"Semangat! Kamu bisa!"

Maisha terbius, tuk berucap 'Ya' saja tak sanggup. Sungguh, detik ini adalah saksi kebisuannya atas perlakuan kekasih halalnya. Bukan tuk pertama kalinya, karena seorang Ibrahim telah melukis banyak warna indah dalam hidupnya.

"Maisha mimpi nggak Kang?"

Ibrahim terkekeh melihatnya, "nha, sekarang Rumaisha yang nyebelin. Suaminya serius malah gitu. Balik sana!"

"Astaghfirullah, Kang! Jahat banget,"

Rumaisha pun melangkah keluar. Namun, kakinya berhenti begitu saja dan berbalik ke arahnya.

"Lupa. Salim dulu mumpung ketemu."

Dia menjabat dan mencium tangan suaminya ta'dzim. Sejenak, gadis itu maju mendekat. Dia mensejajarkan wajah jua bibirnya tepat di telinga kiri Ibra.

"Makasih semangatnya, Kang suami!"


Cup

Maira bergegas keluar sembari berteriak, "Nggak dosa, kan? Assalamualaikum!"

'Demi apa? Maisha kok malu-maluin.' Rutuknya tak jelas sembari menyusuri lorong sekolah.


.


.


.


"Buya, Maisha mau tanya."

"Tanya apa?"

"Dulu, gimana caranya Buya bisa menaklukkan hati Umma?"

"Duh, anak Buya lagi patah hati."

"Buya, ih. Ayo cerita!"

"Emm, biasa aja. Tapi-"

"Tapi apa, Buya?"

"Buya sering memberikan cerita malam untuk Umma, tentang shahabiyah. Khususnya wanita mulia, yang memuliakan suaminya."

"Maasyaa Allah. Terus Rumaisha harus apa? Masa' iya cerita ke Dia."

"Nak, berdoa! Lakukan yang Dia perintah, sukai yang Dia suka!"

Rumaisha tersenyum hangat mengingat ucapan Buya, "semoga Kang Ibra mau merajut cinta bersama Rumaisha, layaknya Buya dan Umma."

Menikah itu tentang berjuang, berjuang berdua bukan berat sebelah. Bahkan sebuah salam, jika tak mendapat jawaban, bukankah itu menyakitkan? Seperti itulah cinta, seperti itulah kehidupan rumah tangga.

Percayalah, hujan tak akan tega membiarkan insan meratapi kesepian. Maka, muncullah pelangi dengan segala keindahan. Anggaplah hujan adalah hatinya, Dia yang sulit sekali menoleh ke arahmu. Tenanglah, berlakulah setenang hatinya. Surely, pelangi itu akan hinggap dengan anggunnya.

"Ya Allah, bantu Rumaisha menjerat sosok Ibra!"

Datanglah sosok bergamis hitam dengan balutan pashmina gold, "Sha, yuk ke mushollah!"

"Eh, iya, Al!"

Tiba di halaman musholah, mata Rumaisha menangkap bayangan Ibra yang sibuk dengan kelompok hadhrohnya. Dia melangkah mendekat, ingin mendengar suara merdunya. Ah, gadis itu pecinta sholawat layaknya sang suami.

Sesaat, Ibra melihatnya. Matanya melotot tajam dan bergerak liar. Dia mengisyaratkan agar Maisha segera menjauh dan duduk dengan kawan-kawannya.

"Nyesek ya diusir suami!" Batinnya terkekeh.


.


.


Program usai, Maisha melangkah keluar dengan lesu. Entahlah, hawa kantuk menerjangnya bertubi-tubi.

"Mbak Rumaisha, di suruh ke ndalem!"

Seorang santri datang menyampaikan kabar, gadis itu sudah jengkel karena rasa kantuknya.

"Duluan aja, Al! Maisha ke ndalem dulu!"

"Ok. Hati-hati!"

Gadis bergamis hijau lumut itu berjalan pelan. Rupanya, dia sadar bahwa sosok Ibra lah yang memanggilnya. Tampak lelaki itu berdiri dan menunggunya di luar ruangan. Bibirnya merapal kata menandakan bahwa Rumaisha harus segera masuk.

"Assalamualaikum. Ada apa, kang? Maisha ngantuk ini, besok ujian."

Ibrahim terkekeh dan menepuk karpet di sebelahnya, "Duduk sini!"

Dia menurut dengan bibir mengerucut. Tak ada rasa jaim lagi, toh Ibrahim sudah tau semua tentang hatinya.

"Habis ngapain aja sampe kusut gitu mukanya?" Ibra bertanya sembari memandangnya heran.

"Belajar, kang. Huft, deg deg an buat besok!"

"Tenang, Insyaa Allah kamu bisa!" Tangan Ibra lincah mengelus kepala Rumaisha.

"Kang Ibra lagi nggak kerasukan jin, kan?"

"Kenapa?"

"Perlakuannya kok istimewa banget ke Maisha?" Tanyanya sambil memandang takjub ke arah sang suami.

Ibrahim terkekeh mendengar ucapannya, "dasar! Dah balik gih!"

"Lha? Terus tadi nyuruh ke sini ngapain?"

Lelaki itu kelabakan, "eh itu, emm, itu, cuma mau,"

"Apa sih?"

Diam lalu mendongak mantap, "cuma mau ngasih semangat aja buat besok. Sudah balik!"

"Seneng banget ngusir Maisha? Maisha masih mau di sini!"

Ibrahim melongo mendengarnya, "jangan aneh-aneh, Sha!"

"Sah, kan?" Ucapnya sambil menata bantal di atas kasur lantai kecil Ibra.

"I-iya, tapi-"

"Berisik. Tutup pintunya, Kang!"

Pria itu menghela napas pasrah dan menuruti kemauannya. Dia pun beringsut duduk tepat di sebelah istrinya yang sudah berbaring.

"Bener kata Buya, harus ekstra sabar menghadapi kamu."

Rumaisha menoleh seketika, "Buya ngomong apa aja, Kang?"

"Banyak."

"Contohnya?"

Ibrahim gemas sendiri mendengar ocehan sang istri yang ngelantur kemana-mana. Tangannya membekap mulutnya pelan.

"Diem! Tidur atau balik!"

"Tap-"

"Tidur atau balik!"

Rumaisha mendorong tangannya paksa, "nyebelin! Maisha balik aja."

Gadis itu berdiri seketika. Maisha bertingkah seolah dirinya benar-benar kecewa. Sednag Ibrahim merasa bersalah menatapanya. Dia segera mencekal tangannya dan memintanya kembali duduk.

"'Afwan. Bercanda, jangan marah!"

"Kenapa Kang Ibra nggak bisa baik sama Maisha?"

"Ngomong apa sih? Dari kemaren emang suamimu ini jahat apa?"

"Nha, nyolotnya kumat lagi."

"Astaghfirullah, Maisha. Itu bukan nyolot, cuma tanya minta penjelasan."

Ibrahim mengehela napas dan menangkupkan tangan pada kedua pipi chubby nya.

"Dengar, Rumaisha ini sudah menjadi istri. Belajar adab sama suami, ya!"

Deg

Detik ini, Rumaisha merasa dirinya sangat berlebihan, "Maisha salah ya, Kang?"

"Nggak salah, cuma harus belajar lebih baik."

Dia menjeda sejenak dan berbisik lirih, "wajar kok soalnya Kamu masih bocil."

Diamnya kini berubah tawa. Tawa bersama kekasihnya. Ah, malam yang indah, bukan?

"Kang Ibra, ih!"

Ibrahim semakin terkekeh dibuatnya, "sudah, mau di sini apa balik?"

"Balik aja, Kang. Maaf, Maisha salah."

"Aku antar." Ibrahim berdiri dan menuntunnya tuk berdiri.

"Sweet banget sih, kang?"

"Hmm, demi istri kecilku."

Rumaisha menahan senyum mendengar itu. Sungguh, hatinya penuh dengan kupu-kupu. Lelaki yang berjalan sejajar di sampingnya itu berhasil merampas hati dan jiwanya. Beruntung Dia sudah berhak atasnya hingga tak lagi fitnah zina di antara keduanya.


.


.


.


Pagi yang terasa mencekam untuk Maisha dan sekawanannya. Bagaimana tidak? Dia akan bertempur dengan puluhan kata serta angka tuk mewujudkan cita. Tangan gadis itu berkeringat dingin sedari tadi.

"Sha, kenapa? Tenang, Kamu kan pinter."

"Nggak tau, Al. Aku keluar bentar, ya!"

Ada satu hal yang Ia lupakan. Gadis itu berjalan cepat menyusuri lorong yang sepi. Beruntung, belum begitu banyak pelajar yang menghuni gedung sekolah pagi ini.

Tepat di depan toko buku, Rumaisha menelisik, mencari keberadaa Ibra. Tepat sekali, Ibra menyembul dari arah ruangan khususnya.

"Ada apa?" Tanyanya heran.

Rumaisha masuk ke dalam dan melihat sepiring nasi serta segelas air putih.

"Baru makan, Kang?"

"Iya, mau? Enak, kok." Tawarnya sambil menyodorkan makanan.

Rumaisha tersenyum dengan tawaran suaminya, "emm, kang!"

"Hmm."

"Tau nggak Maisha maun gapain ke sini?"

Ibrahim hanya mengedikkan bahu sambil menatapnya.

"Kang, ih. Berasa bicara sama batu aja."

"Astaghfirullah, Maisha!"

Rumaisha kikuk, takut Ibra marah. Menyadari itu, Ibra mendekat dan mengusap bahunya pelan.

"Udah. Ada apa kok kesini?"

Maisha mendongak dan menerbitkan senyumnya, "kang Ibra nggak marah?"

Lelaki itu menggeleng. Entah, betapa senangnya hati Rumaisha saat ini.

"Emm, Maisha cuma mau minta doa."

"Untuk?"

Rumaisha mendekat dan mencium punggung tangannya ta'dzim,

"Doakan ujian Maisha lancar ya, kang!"

Ibarahim mengelus kepalanya penuh sayang, "iya. Semoga lancar ya!"

Setelahnya, lelaki itu menangkupkan tangannya pada pipi Rumaisha, "tenang dan fokus, ok!"

Rumaisha mengangguk. Sejenak, tubuhnya menegang saat jarak keduanya begitu dekat hingga sesuatu yang basah menempel di keningnya.

Cup

"Semangat istriku!"

Gadis itu melongo dan mematung sempurna. Sekali lagi, Ibrahim terkekeh dibuatnya.

"Hey, sudah matungnya! Balik sana!"

Rumaisha masih berdiri dan mengerjapkan mata, "Kang, tadi nyata?"

"Balik, atau-"

"Iya, iya, Maisha balik. Assalamualaikum!"

Gadis itu pun berlari dengan senyumnya yang tak berhenti mengembang.

Sedang Ibrahim terkekeh sendiri, "dasar bocil!"

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Senandung Cinta Rumaisha 14

Senandung Cinta Rumaisha 17