Senandung Cinta Rumaisha 5

 Menikah itu tak hanya tentang keromantisan melainkan kebersamaan tuk meraih ridhoNya. Sebagai sosok pemuda biasa, Ibrahim berusaha ikhlas menitih surga bersama meski gadis itu baru masuk dalam hidupnya.

"Sha, bangun! Tahajjud dulu!"

Rumaisha mengerjap dan mendapati Prianya sudah rapi dengan koko birunya. Gadis itu tampak memikirkan sesuatu. Sesaat, Dia sadar akan satu hal.

"Semalam Kita tidur berdua ya, Kang?"

"Kenapa?"

Gugup, kelabakan, itu yang dirasakan. Rumaisha segera bangkit menuju kamar mandi, wudlu sekaligus membersihkan diri.

Tibalah melaksanakan 2 rakaat sunnah bersama. Gadis itu menangis seketika dalam takbirnya. Rasa haru bersorak riuh dalam dadanya. Andai bisa, Ia ingin menghentikan detik ini tuk 1000 tahun lamanya.

"Kenapa? Nangis?"

Dia hanya menggeleng dan memandang Pria yang telah sah menjadi imamnya.

"Coba sini!"

Rumaisha menurut, mendekat ke arahnya. Tangannya mengusap lembut sisa air mata yang menempel di pipi.

"Kamu tau, pertama menjabat tangan Buya, mengucap kalimat Qobiltu, Aku sudah berjanji akan melindungimu. Meskipun,"

Ibra tak melanjutkan kalimatnya dan memilih melipat sajadah. Rumaisha? Tentu Dia tak terima jika ada pembicaraan yang digantung.

"Meskipun apa, Kang?"

"Nggak apa-apa. Ambil Al-Quran, gih! Ngaji!"

"Jawab dulu! Meskipun apa?"

"Mau tau?"

Gadis itu mengangguk mantap.

"Meskipun aku, emm, nggak ada perasaan sama kamu."

Deg

Napasnya tercekat, lidahnya kelu. Sejenak, tubuhnya lemas dan hatinya memberontak semua ini.

"L-lalu, kenapa nikahin Rumaisha?"

"Karena kamu."

"M-maksudnya?"

"Gara-gara aku, kamu jadi zina mata, hati, dan pikiran terus-terusan. Jadi, aku rela tanggung jawab apalagi kamu sendiri yang terang-terangan minta."

'Kok nyesek, ya?' Batinnya lirih.

"Maaf!"

Mendengar kata itu, Ibra melihatnya begitu rapuh. Rupanya, sosok yang selalu riang itu kini tengah bersedih hati.

"Hey, tenang! Mana Rumaisha yang selalu tersenyum?"

'Nih suami nggak peka banget sih!' Gerutunya.

"Emang ada ya kang orang patah hati terus senyum?"

"Siapa yang patah hati?"


Maisha mendengus sebal mendengar pertanyaan itu.

"Maisha kang, dan itu gara-gara kang Ibra. Ngeselin! Dah, mau bobok."

Ibra hanya terkekeh melihat tingkahnya. Meski tak ada rasa, namun kehadirannya telah mampu menciptakan suasana berbeda.

Melihat Rumaisha yang beringsut ke ranjang, Ibra mengikutinya. Lelaki itu duduk bersandar dengan buku kecil di tangan. Sesaat, dia melirik ke arah istrinya.

"Kayak anak kecil, ngambekan!"

Gadis itu segera berbalik dan menatapnya tajam.

"Ibra nyebelin!"

"Nyebelin kok cinta."

Skakmat. Rumaisha tak bisa membalikkan fakta. Nyatanya, dia memang mencintainya. Gadis itu bangkit dan memikirkan sesuatu. Great, ide jahilnya muncul dan beraksilah dia dengan tingkah konyolnya.

"Eh, stop! Stop! Sakit, Sha!"

Maisha masih memukulinya dengan boneka Pandanya yang teramat besar.

"Makanya, jangan ngejek gitu. Awas aja nanti kalau kesemsem sama Maisha."

Ibra hanya menggeleng akan tingkahnya.

"Siapa yang ngejek, sih? Nyata, kan?"

Maisha segera menutup wajahnya dengan bantal, "aaa, Umma, menantumu nyebelin!"

Tawa ringan itu melegakan hatinya. Setidaknya, ada obat yang mampu menutupi lukanya. Ah, serasa patah hati. But, is it true? Tekad Rumaisha cuma 1, membuat sosok Ibra tergila-gila padanya suatu saat nanti.

"Sha, ngaji, jangan tidur!"

"Kang Ibra aja yang ngaji." Ucapnya tanpa menoleh.

Ibra berbisik tepat di telinga kanannya, "ngaji bareng."

Tubuh Maisha menegang seketika mendengar suaranya yang lirih. Seolah terbius, Dia duduk dan mengangguk patuh. Keduanya pun mengaji bersama dan berlanjut pada 2 rakaat wajib berjamaah.

"Suka makan apa, kang?"

"Kenapa?" Tanyanya balik sambil menopang dagu.

"Ya, ya, nanti Maisha masakin."

"Apa aja suka."

"Tapi, Maisha baru belajar masak. Jangan dihina ya?"

Mendengar itu, tangannya bergerak mengacak kepalanya yang sudah berbalut kerudung,

"nggak akan. Dah sana, bantu Umma masak!"

Rumaisha melongo dengan perlakuannya. Surely, salah satu perlakuan istimewa lelaki pada perempuan adalah mengelus/mengacak area kepala penuh sayang.

"Duh, Maisha baper, Kang!"

"Rumaisha, bercandanya nanti!"

Gadis itu pun berlari menuruni tangga. Tujuannya yakni sang Umma. Berdirilah kini gadis itu dan bertempur dengan segala bahan masakan.


.


.


.


"Sudah, sayang. Panggil suamimu, sekalian Buya!"

"Siap, Umma!"

Kini, keluarga Atha tengah menyantap makanan bersama. Tak ada obrolan, semua fokus dengan hidangan masing-masing.

Senyum pagi adalah caranya mengawali hari. Bukan seperti mereka yang beradu dengan segelas kopi, sekeping roti, atau sepiring nasi, Rumaisha justru seteguk air putih. Ya, putri tunggal Humaira memang sulit tuk sarapan pagi. Tak heran jika seringkali merasakan perih di area perutnya.

"Kenapa nggak makan?"

"Males, kang."

"Jangan dibiasain."

Ibrahim bangkit, mengambil piring kosong dan mengisinya dengan nasi serta lauknya.

"Nih, makan!"

Sejenak, Buya menyenggol bahu Umma, saling melirik dan tersenyum penuh arti.

"Ekhem, Umma, keluar yuk! Gerah!"

Sosok Umma hanya terkekeh mengikuti suaminya menjauh dari pasangan muda itu.

"Kang Ibra sih."

"Makanya makan. Minta disuapin?"

Rumaisha segera menegakkan badan, "bener kata Buya, gerah."

Dia segera menyantap makanan tanpa basa-basi. Terdengar kekehan Ibrahim yang membuatnya ikut terkekeh pula ditengah kunyahannya.

"Ujian kapan?"

"1 bulan lagi!"

"Belajar yang bener. Nanti sore kita balik ke pesantren."

"Hmm."

"Ngomong sama suami itu yang bagus, yang ikhlas!"

"Dirinya aja nggak bisa bagus ngomong sama Maisha."

Sekali lagi, Ibrahim heran dengan tingkah dan caranya berbicara. Siapapun akan ikut tertawa dibuatnya.

"Perasaan Umma itu kalem ya, kok anaknya kayak gini."

"Kang Ibra kok ngeselin ya."

Keduanya pun tertawa bersama.


.


.


.


Setelah perjalanan panjang, kini Rumaisha juga Ibrahim telah tiba di pesantren. Sesuai kesepakatan, tak akan ada yang tahu status keduanya kecuali keluarga dan pihak ndalem. So, sepasang kekasih itu akan menjalankan peran masing-masing, entah sampai kapan.

Malam tiba, Rumaisha bersama kawannya bersiap tuk mengikuti kelas malam. Tak disangka, sosok suami telah berdiri dihadapannya, menggantikan posisi sang ustadz.

"Sha, Sha, Kang Ibra yang ngajar!"

'Demi apa? Kenapa harus ngajar di sini? Deg deg an kan jadinya.' Batinnya heboh.

"Sha, fokus! Jangan bengong, ntar malah kena semprot!"

"Diem, Al!"

"Rumaisha!"

Deg

Suara Ibra menggema ke seluruh ruangan. Hatinya bergetar, jantungnya berpacu kuat. Dia mendongak ragu dengan senyum palsu.

"I-iya, Kang?"

"Kenapa berbicara sendiri?"

Gadis itu menggaruk tengkuknya, sejenak, dia menggeleng pasrah.

"M-maaf, Kang!"

"Rangkum beberapa kisah shahabiyah yang Kamu tau. Habis ini setor ke ruangan saya!"

Dia hanya melongo, lalu mengangguk lesu.


Pembelajaran usai, kini Rumaisha berjalan menuju ruangan asatidz tuk mencari sosok Ibrahim. Belum tiba di tempat tujuan, dia yang dicari sudah berdiri menghadang di halaman musholah. Tangannya melambai, meminga Rumaisha datang menghampirinya.

"Sudah selesai, Kang!"

Lelaki itu memeriksanya dengan seksama, "good! Lain kali jangan diulangi. Ada yang berbicara di depan itu dihargai, paham?"

"Maaf, kang. Maisha cuma shock aja kenapa kang Ibra yang ngajar."

"Enak kan diajar suami sendiri."

Rumaisha hanya mengedikkan bahu sebal.

"Ikut aku sebentar!"

"Kemana?"

Tak menjawab, lelaki itu belajar mendahuluinya. Mau tak mau, Maisha mengikuti langkahnya yang lebar. Detik ini, Maisha kembali lagi di ruangan khusus suaminya.

"Ngapain, kang?"

"Masuk, Sha? Mau ketahuan yang lain?"

Paham maksudnya, gadis itu segera melangkah masuk. Ibrahim sibuk mencari tumpukan buku di almarinya. Sedang Maisha hanya menunggu dengan rasa kantuk.

"Nih, buat belajar. Ini kumpulan imtihan."

Rumaisha mengembangkan senyumnya senang, "aah, makasih, kang. Baik, deh."

Melihat tingkah istrinya, Ibrahim gemas sendiri, "berasa jadi bapaknya bocil ya."

"Kang Ibra, ih!"

"Balik sana! Berani, nggak?"

"Berani, lah."

Rumaisha melangkah keluar. Namun, dia kembali masuk dan mendekat ke arah Ibra. Ibra hanya memandangnya bengong.

"Kang."

"Ada apa lagi? Minta antar?"

Rumaisha menunduk sembari mengulurkan tangan, "salim."

Ah, Ibrahim tak bisa menahan senyumnya dan segera menyambut tangan mungil kekasihnya.

"Istri sholehah. Selamat malam, sayang!"

Great, Rumaisha mematung seketika seraya membatin, 'what? kang Ibra bilang sayang?'

Lalu, Dia berlari menjauh, menuju kamarnya,

"Umma, Maisha jatuh cinta!"

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Senandung Cinta Rumaisha 17

Senandung Cinta Rumaisha 14

Senandung Cinta Rumaisha 12