Senandung Cinta Rumaisha 4
Pagi yang indah, senyumnya merekah bak bunga dengan semerbak harumnya. Rumaisha, gadis yang menduduki sekolah tingkat akhir itu bersiap menerobos gerbang sekolah. Kehaluannya semalaman membuat dirinya tak sempat sarapan. Dia bukan gadis pemalas sampai rela telat masuk kelas.
"Ini semua gara-gara Ibra!"
Mulut kecilnya tak berhenti menggerutu hingga di depan ruangan tuk menimba ilmu. Selama proses belajar, perutnya liar meminta makanan. Sungguh, gadis itu tak mampu lagi berpikir keras.
"Kenapa, Sha kok lentuk gitu?"
"Laper!" Jawabnya lesu.
"Demi apa? Lagian tumben amat bangunnya telat!"
"Udah diem, Al. Kena hukuman nih Maisha gara-gara telat jamaah shubuh."
"Hukuman apa?"
"Tau, pulang sekolah disuruh menghadap ke ruangannya."
"Hihi derita lo!"
Jam istirahat tiba, Maisha tak kuasa menahan lapar. Melangkah saja seolah tak kuat. Entah sejak kapan, kepalanya berdenyut cepat. Semakin cepat, hingga dirinya ambruk di tengah lorong. Tak ada yang menemani karena Dia memang sedang ingin sendiri.
Sejenak, matanya mengerjap saat sosok kekar menyangga tubuh rampingnya. Ya, lelaki itu, sosok yang secara tak langsung telah membuatnya tumbang layaknya sekarang.
"K-kang?"
Lelaki itu menegakkan tubuhnya perlahan.
"Nggak sarapan?"
Rumaisha hanya menggeleng pelan. Ibra merogoh sesuatu dalam kantong plastik yang Dia bawa.
"Makan dulu, gih! Buat ganjel perut."
Gadis itu hanya melongo dan memandangnya heran, "makan aja nggak ada racunnya!"
Rumaisha menurut dan langsung menyantapnya tanpa berpikir ulang.
"Duduk, Sha!"
Ah, konyol sekali dirinya. Dia pun beringsut duduk sedang Ibra memandangnya heran.
"Alhamdulillah, makasih Kang!"
"Hmm."
Tiap suapan serta kunyahan roti itu tak lepas dari arah pandangnya. Begitupun si Pria, sesekali, matanya melirik sedang tangannya terlipat apik di depan dada.
"M-maisha ke sana dulu!" Maisha gugup dan ingin berlari dari hadapannya.
"Eh, ikut Aku dulu!"
Deg
Rumaisha semakin melongo dibuatnya. Lelaki itu suka bermain teka-teki dengannya. Entah sudah seperti apa keadaan jantungnya sekarang.
"U-untuk?"
"Lama, ayo!"
Dan terulang lagi, Ibra menyeretnya paksa. Sesekali, mata sang gadis liar menelisik segala arah. Pasalnya, Dia takut ada yang melihatnya. Hingga tiba di ruangan, tepat sebelah toko buku, Ibra mengajaknya singgah.
"Nih, makan!"
Gluk
Rumaisha hanya bisa menelan saliva paksa. Sungguh, Dia sangat bingung dengan kekonyolan ini. Benarkah yang sedang terjadi ini?
'Nggak, ini salah!' Batinnya kesal.
"Maisha mau keluar, Kang!"
"Makan dulu!"
"Ya ya kan bisa makan di kantin. Ngapain harus di sini?"
"Ya sudah, keluar sana!"
"Astaghfirullah. Kang Ibra sehat? Bentar-bentar baik, bentar-bentar jahat. Aneh!"
Lelaki itu hanya diam sambil memainkan ponselnya. Ah, Maisha sakit hati tak diperhatikan.
"Maisha ini ngajak ngomong lho!"
Lagi, Dia tak menyahut. Maisha begitu dongkol dan kembali duduk. Ah, gadis itu seolah tak rela jika pria di depannya marah dan mendiamkannya.
"Aku makan."
Penyandang nama Ahza kini tengah menyantap sepiring nasi lengkap dengan lauknya. Dalam tengah kunyahan, Ibra membuatnya beku seketika.
Cekrek
Si manis Maisha tersedak begitu saja saat terdengar suara shoot dari benda pipih Ibra.
"Kok di foto? Hapus Kang!"
Sosok Ibra masih liar dengan jemari yang memainkan ponsel.
"Hapus Kang!"
"Berisik, nih Umma yang minta!" Ucapnya sambil menyodorkan ponsel.
'Ih, Umma kok ngeselin ya.' Umpatnya dalam hati.
Percayalah, dalam hati sang gadis sudah tumbuh ratusan bunga. Ada harap bahwa Ibra menyimpan rapi potretnya. Cinta, itulah yang membuatnya bersikap tak biasa. Namun, sekali lagi, Dia sosok wanita, tak mungkin bersikap gegabah apalagi di depan Pria yang dipuja.
"Kang, jelasin yang semalam!" Cicitnya pelan.
"Jelasin apalagi?"
"Itu yang semalam!"
"Semalam apa?"
"Sumpah, ngeselin banget!" Huft, gadis itu sungguh dongkol.
"Dosa ngatain suami sendiri!"
Uhuk
Kata itu sangat mengagetkannya hingga tersedak nasi yang ditelannya.
"I-itu, maksud Maisha jelasin itu!"
"Apa sih?"
"Tadi Kang Ibra ngomong apa?"
"Dosa ngatain suami."
"Nha itu maksudnya gimana?"
"Ya kan emang bener."
"K-kang Ibra beneran suaminya Maisha?"
"Kamu kan yang minta."
Duar
Gadis itu menatapnya cengo. Sesekali, Dia mengerjapkan mata dan menelisik kebenarannya. Suami? Keinginannya? Pikirannya melayang pada malam konyol itu. Sungguhkah?
"Jadi?"
"Masuk kelas, besok lagi tanyanya!"
"Bentar."
"Masuk, Rumaisha!"
Tak ada pilihan, menurut adalah tindakan paling tepat. Percayalah, saat seseorang memerintah dan diakhiri sebuah nama dengan penekanan, Dia tak menerima penolakan.
Jika masalah cinta, apakah Rumasiha mencintainya? Ada dua jawaban, ya dan tidak. Ya, karena sosom Ahza begitu mengaguminya. Tidak, karena Dia tak yakin sosok Ibra telah halal untuknya.
Yang pasti, detik ini, hidupnya berubah seketika. Ada jiwa baru yang menyusup seenaknya, namun Dia begitu lihai menyambutnya.
.
.
.
"Umma, Maisha harus nulis sebanyak ini."
Gadis dengan gamis maroonnya itu menggerutu karena hukuman yang didapat. Jika kawannya menikmati tidur siang, tidak untuknya. Tangannya harus kuat mengisi penuh 5 lembar kertas.
Ya, saat ini, Rumaisha menulis ditengah sepinya mushola. Hukuman membuatnya tak berselera menyantap makan siang, then it's the first time for her.
Sejenak, Dia mendongak saat berdiri seseorang dengan sarung hitam. Bibirnya tersungging manis mengetahui siapa gerangan.
"Dihukum?"
"Gara-gara Kang Ibra!"
Tak disangka, Pria itu justru duduk tepat di depannya.
"Sudah makan?"
Maisha hanya menggeleng lesu. Setelahnya, Ibrahim bangkit dan meninggalkannya. Sedikit heran dengan lelaki itu, Dia mengedikkan bahu dan melanjutkan aktivitas menulisnya. Namun, siapa sangka, idamannya kembali lagi dengan menenteng beberapa bungkus roti.
"Makan gih!"
Takjub, gadis itu terbius akan tingkahnya.
"Sha, makan!"
"Perasaan Kang Ibra nyuruh makan terus dari kemarin."
"Ya makanya jangan telat makan!"
Ah, ternyata anak Humaira tak mempedulikannya, tepatnya pura-pura tak peduli. Dirinya kembali fokus dengan lembaran kertas di depannya.
"Buka mulutnya!"
Wow, entah sudah seperti apa jantungnya sekarang. Andaikan bisa keluar, mungkin jantungnya sudah menggelinding mengitari lapangan.
"Besok ikut Maisha pulang! Maisha butuh penjelasan dari kalian semua!"
Lelaki itu acuh dan memandang ke arah lain. Maisha bergegas merapikan kertas dan bangkit,
"Kang suami neyebelin!"
.
.
.
Sesuai rencana, siang ini, tepat sehabis sekolah, Maisha meminta Buya menjemputnya pulang. Diikuti Ibra di belakangnya, keduanya duduk tak tenang.
"Ada apa kok minta mendadak pulang?"
"Ngomongnya nanti, Buya! Maisha lagi nggak mood."
Tibalah di hunian megahnya, Maisha melangkah cepat dan mencari keberadaan Umma. Dia rindu pelukannya, belaiannya, serta segala wejangannya.
"Umma, Maisha kangen!"
"Maasyaa Allah, baru juga kemarin bertemu. Ada apa?"
Rumaisha menunduk, "Maisha butuh penjasan kalian semua."
"Tentang?"
"Tuh!" Jawabnya semanri menunjuk lelaki berkoko putih.
Hawa tegang mulai masuk. Detik ini, Rumaisha menerima kenyataan bahwa Ibrahim adalah pria halal untuknya.
"Sesuai permintaanmu, takut zina mata terus-terusan kan?"
Gadis itu hanya mampu melongo sembari menahan napas.
"Kalian sah secara agama, tapi belum negara. Paham?"
Kalimat itu begitu membiusnya hingga tak mampu bernapas dengan baik.
"Maisha pengen pingsan, Umma!"
Semua yang berada dalam ruangan tertawa akan tingkah absurdnya.
.
.
Malam menyapa, suasana tampak sunyi. Tak ada lagi kicauan burung apalagi lalu lalang manusia di jalanan. Kini, Rumaisha juga Ibrahim duduk mendengarkan wejangan Umma Buya.
"Sudah malam, Kalian tidur!"
Keduanya mengangguk patuh. Namun, Buya kembali lagi memghentikan langkahnya.
"Langsung tidur, ya! Jangan macam-macam!"
"Buyaaaa!"
Sungguh, Rumaisha sangat malu akan perkataan Buyanya. Gadis itu berlari memasuki kamar dan menenggelamkan wajahnya dengan selimut karakter favoritnya.
"Huft, Maisha nggak kuat, nggak bisa napas ini!"
Deg
Sentuhan maut membiusnya lagi. Tubuhnya bergetar saat menoleh ke arahnya.
"A-apa?"
"Sholat dulu. Belum, kan?"
Bahkan untuk melangkah ke kamar mandi pun butuh tenaga ekstra. Belum semalam, namun jantungnya sudah aerobic berkali-kali.
Ah, sungguh indah, keduanya kini melaksanakan 4 rakaat bersama. Tepat seperti impiannya, Rumaisha berdiri 1 shaf di belakang sosok Ibra, menikmati suara merdunya.
"Tau apa yang dilakukan seorang istri setelah sholat berjamaah?"
Maisha hanya melongo mendengarnya. Untuk seperkian detik, pikiranya kembali normal dan memahami maksudnya. Gadis itu beringsut maju mendekat dan mencium tangannya perlahan. Moment langkah dan mendebarkan untuknya.
Kini, keduanya sudah berada di atas pembaringan. Gadis itu sama sekali tak memejamkan mata begitupun Ibra. Sesekali, Dia menggeserka tubuh kesana kemari, mencari kenyamanan.
"Bisa diem, nggak?"
Seketia, gadis itu diam dan membeku.
"Nggak bisa tidur?"
Rumaisha mengangguk malu.
"Baca Al-Ikhlas 3x, Al-Falaq dan An-nas 1x, habis itu tutup dengan Al-Fatihah!"
Menurut ucapan sang Pria, Dia segera melafalkan surat-surat itu.
"Sekarang geser ke sini!"
Maisha melongo, namun tetap menurutinya.
Deg
Tangan kekar Ibrahim merengkuh tubuh kecilnya. Sungguh, Dia ingin berteriak sekaligus tertawa sekeras-kerasnya. Namun, Rumaisha tetaplah Rumaisha yang ingin menjaga imagenya. Gadis itu menggeliat ingin lepas dari cengkramannya.
"Diem, merem, bobok!"
'Kang suami modus! Tapi Maisha suka!'
Komentar
Posting Komentar