Senandung Cinta Rumaisha 3

 Jam 1 siang, Rumaisha telah mendekap dalam kamar. Bayangan Ibra masih menari-nari bersamaan dengan ucapannya.

"Aku suamimu"

"Aku suamimu"

"Aku suamimu"

"Aaaahh, Umma, pengen pulang!"

Sejenak, Dia tersenyum namun hatinya juga gelisah. Ah, pernyataan yang menciptakan berjuta pertanyaan.

"Tuh orang ngomongnya asal. Tapi bener nggak sih?"

"Kenapa bengong, Sha?" Alif, teman sekamarnya, mengagetkannya.

"Pusing, Al."

"Mikirin apa?"

"Nggak apa-apa. Mau tidur, bye!"

Tibalah jarum jam menunjukkan angka 4, Rumaisha serta teman lainnya bersiap tuk aktivitas selanjutnya. Tak disangka, langkahnya terhenti begitu saja dalam gang kecil. Matanya menangkap sosok Ibra yang sedang duduk termenung.

"Kamu duluan, ya! Aku ada urusan sebentar." Ucapnya jelas pada Alif.

Ah, gadis itu tak akan tenang sebelum tahu sebuah kenyataan. Langkahnya begitu cepat menuju sosok Pria bepeci hitam.

"A-assalamualaikum!"

Pria itu mendongak seraya berucap istighfar, "Astagfirullah. Waalaikumsalam. Ada apa? Bolos?"

"Nggak. Maisha cuma mau tanya." Ucapnya menunduk.

"Hmm."

"M-maksud ucapan, emm, tadi siang apa?" Sungguh, gadis itu sangat gugup.

"Ucapan apa?"

"Itu."

"Itu apa?"

"Itu, lho!" Ah, Dia malu menanyakannya.

"Gadis aneh, ngomong yang jelas!"

"Nggak jadi."

Ibra hanya menggeleng akan tingkahnya, "balik ngaji sana, atau kuadukan ke Umma!"

'Hah? Main ngadu aja nih orang,' batinnya sebal.

"Rumaisha, balik cepet!"

"Nggih, tapi Kang Ibra masih hutang penjelasan."

Ibra melotot sedang Rumaisha berlari begitu saja. Hawa hangat hinggap begitu saja, menyengat seluruh tubuhnya.

Usai mengaji dan tadarrus bersama, para santri sibuk mempersiapkan sebuah acara. Ya, tepat malam ini, sosok Gus yang diidamkan para santriwati akan melaksanakan sebuah akad.

Rumaisha, gadis lincah itu sibuk merangkai karangan bunga. Sesekali, bibir mungilnya bersenandung indah. Di ruang tamu ndalem, Dia hanya duduk sendiri ditemani lalu lalang santri.

"Sudah cantik bunganya."

Sesekali, bola matanya liar mencari keberadaan Ibra. Ah, sepertinya gadis itu sudah tergila-gila dengan sosok sederhana itu.

'Itu Kang Ibra, kayaknya mau latihan hadhroh.'

Rumaisha bangkit dan melangkah mendekati sekerumunan para pria. Senyumnya mengembang saat Dia yang dipandang melihat ke arahnya. Sejenak, Pria itu menghentikan aktifitasnya, menjauh dari kawannya. Rupanya, langkahnya nekat mendekati sang Rumaisha.

"Ngapain di sini? Laksanakan tugasmu, jangan bikin masalah!"

"Ya ngapain juga Kang Ibra malah nyamperin? Ini namanya cari masalah."

Ibra geram dan menyeretnya paksa, menjauhi sekumpulan kawan. Rumaisha pias dengan perlakuan lelaki yang disanjungnya. Siapa Dia hingga berani menyentuhnya?

"Lepas, Kang! Main pegang aja!"

Ibrahim menghentikan langkah dan menghadap tepat di depannya.

"Sudah halal!" Bisiknya dan melenggang pergi begitu saja.

Deg

See, gadis periang itu kelabakan. Apa pendengarannya sudah tak berfungsi? Atau mulut sosok Ibrahim yang harus diperbaiki? Bahkan dirinya tak mampu berdiri tegak sekarang. Lututnya lemas, tubuhnya merosot ke lantai. Sesekali, tangannya menepuk pipinya pelan.

"Mimpi nggak sih?"

Deg

Satu sentuhan di pundak kembali mengejutkannya. Dia ingin sekali mendongak namun kalah dengan ketakutannya.

"K-kang, jauh-jauh sana! Jantungku mau copot!"

Siapa sangka, justru kekehan ringan yang Ia dengar. Rumaisha menoleh seketika dan mendapati sang Umma serta Buya berdiri dengan wajah ceria.

"Ada apa? Dikirain tadi siapa?" Goda Buya.

"Umma, Buya, Maisha rindu." Gadis itu segera berhambur ke pelukan orangtuanya.

Setelahnya, hanya ada acara sakral dimana 2 anak adam mengikat janji suci. Dia, Rumaisha, mersakan getaran hebat kala Qobiltu terucap lantang. Itulah wanita, hatinya yang lembut mudah tersentuh bahkan goyah.

Kini, dalam sebuah ruangan, Rumaisha berceloteh riang dengan dua cintanya. Sesaat, gadis itu mengingat sekelebat wajah dan ucapan Pria yang sudah mengganggu hatinya. Hatinya gundah, nalurinya meronta, sayangnya bibir mungilnya tak sudi membantunya. Hanya diam dan menahan segala tanya.

"Ada apa? Kok diam?" Tanya Umma.

"Eh, Nggak. Umma nanti pulang jam berapa?"

Sesaat, Umma serta Buya saling lempar pandang merasakan hawa berbeda pada gadisnya.

"Lagi mikirin Dia?" Ah, Buyanya pandai sekali menggoda.

"Buya, ih!"

Sang Buya mendekat dan membisikkan sesuatu, "sebentar lagi Dia kesini."

1 kalimat namun membuat tubuhnya menegang. Sungguh, dirinya semakin kalut. Apa yang sebenarnya terjadi? Segala praduga mucul begitu saja sedang gadis itu hanya menggelengkan kepalanya pelan.

Tepat sekali, seperti kata sang Buya, pria itu berjalan gagah ke arahnya. Rumaisha ingin lari dan menenggelamkan wajahnya. Sedang sang Umma hanya tersenyum menyaksikannya. See, bahkan Pria itu mampu bersikap biasa seolah semua baik-baik saja.

"Assalamualaikum, Umma, Buya!" Ibrahim mengucap salam ta'dzim.

Melihat itu, Rumaisha mendekat dan berbisik pelan pada Umma, "Umma, Maisha balik dulu ya!"

Telat, tangan Umma mencekalnya kuat saat dirinya hendak berdiri jua berlari menjauh, "jangan kabur! Duduk!"

Sekali lagi, Dia tak akan bisa membantah pada sosok Ummanya. Gadis itu duduk dan menunduk. Hatinya mengumpat segala kata. Bukan untuk Umma Buya, melainkan umpatan pada si Pria.

"Nggak usah mengumpat!"

Deg

Bak cenayang, pria itu berucap pas sekali dengan apa yang Rumaisha lakukan.

"Nak, Kami nitip Maisha. Kalau ada apa-apa langsung saja telpon."

Mata Maisha membulat sempurna, "Buya apa-apaan, sih? Emang Maisha kenapa dititipin ke orang?"

Semua hanya terkekeh mendengar rajukannya.

Umma mendekat dan menepuk bahunya pelan, "sayang, sebentar lagi ujian. Belajar yang rajin, fokus! Paham?"

"Paham, Umma!"

"Ya sudah, Umma sama Buya pulang. Ingat, manut asatidz asatidzah!"

"Nggih."

Rasa dongkolnya hilang, berubah menjadi tangis rindu. Pasalnya, Umma Buya tak akan lagi menjenguk kecuali di saat tertentu.

Kini, tersisalah 2 anak manusia, Rumaisha dan Ibrahim. Keduanya beku, lidahnya terasa kaku. Gadis itu berpikir keras untuk memecah keheningan. Nihil, otaknya ikut buntu.

"Kenapa?"

"Kang Ibra yang kenapa? Ngapain masih di sini?"

"Nungguin Kamu."

Ah, Dia ingin terbang mendengar penuturannya. Benar kata Buyanya, wanita itu mudah baper.

"Nggak usah senyum-senyum. Masuk, gih!"

"Kok suka nyuruh Maisha, sih? Kang Ibra aja yang duluan balik!"

Diam, Ibra hanya diam dan memandangnya lekat. Rumasiha? Gadis itu semakin salah tingkah.

"Mana sikap konyolmu kemarin? Kenapa sekarang jadi pemalu?"

'Allah, nih mulut minta diapain sih? Umma, tolong dong!' Batinnya merancau tak jelas.

"K-kang,"

"Hmm!"

"Hutang penjelasan."

"Apa?"

Dua insan itu bak robot, bukan? Tersetting sempurna tuk menyampaikan satu dua kata.

"Itu, lho!"

"Ekhem, mau tau?"

Deg


Deg


Deg

Detak jantungnya tiba-tiba berjalan tak normal, sangat cepat bahkan semakin cepat saat Ibrahim memperpendek jarak.

"Stop! Jangan dekat-dekat, Kang!"

"Dasar baperan!"

Ah, lagi-lagi Rumaisha terbang dan terhempas begitu saja. Bibirnya mengerucut tak peduli bagaimana cara pandang pria depannya itu.

"Rumaisha, dengar!"

Gadis itu mendongak pelan.

"Umma sama Buya sudah menitipkan Kamu. Jadi, Kamu adalah tanggung jawabku."

Rumaisha hanya mengangguk dan hendak berdiri.

"Tunggu, duduk dulu!"

Ah, Dia begitu penurut. Ibrahim mendekat ke arahnya, "kemarin belum sempat,"

Tangannya mengayun ke atas dan berhenti tepat di atas kepalanya sedang tangan satunya menengadah,

"Allahumma inni as’aluka min khoirihaa wa khoirimaa jabaltahaa ‘alaih. Wa a’udzubika min syarrihaa wa syarrimaa jabaltaha ‘alaih."

Rumaisha mendongak heran,

"Dah balik, nanyanya besok lagi!"

"Tapi-"

"Balik!"

Gadis itu berlari dan masuk kamar. Dia menutup wajahnya dengan bantal bulu,

"Umma, Maisha nggak bakal bisa tidur ini." Ucapnya sambil berguling-guling.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Senandung Cinta Rumaisha 17

Senandung Cinta Rumaisha 6

Senandung Cinta Rumaisha 13