Senandung Cinta Rumaisha 2
Jika dulu sosok Umma Humaira lebih memilih diam, maka tidak untuk Rumaisha. Dia, gadis jelita, punya sejuta tanya. Entah pada siapa, yang pasti Dia ingin menuntaskan rasa penasarannya. Rumaisha kecil sering berceloteh manja pada sosok Abuya yang katanya cinta pertamanya.
"Buya, Rumaisha itu seperti apa sih?"
"Ya seperti wanita."
"Buya, serius lho ini."
"Istimewa, sayang."
"Istimewanya?"
"Kamu ini mirip Umma, banyak tanya." Ucap sang Buya gemas.
"Besok kalau Rumaisha sudah besar, punya anak, mau cerita juga kayak Buya. Ini bekal, lho."
"Allah, Nak. Mikirnya kejauhan. Sudah belajar!"
Rumaisha terkekeh mengingat percakapannya dengan Buya. Pasalnya, Dia seringkali berbuai manja saat sang Umma sibuk dengan aktivitasnya.
"Senyummu itu membawa bencana. Nih, ambil!"
Gadis itu terkejut saat tangan sosok adam berada tepat di atas mejanya. Bukan, Dia tak terkejut akan kehadirannya melainkan kertas yang disodorkannya. Rumaisha hanya bisa menatap punggungnya yang sudah mulai menghilang dari kejauhan.
Deg
Deg
Deg
Bak menerima surat cinta, tangannya bergetar saat membukanya. Bibirnya terus tersungging berharap terselip kata indah di dalamnya.
Ahza Rumaisha? Nggak ada yang nanya.
Senyumnya hilang begitu saja saat tulisan itu begitu mengejeknya.
"Dasar Ibra!"
Dia, Muhammad Ibrahim, pria sederhana yang mengabdi untuk lembaga. Bukan guru, bukan pula ustadz, hanya pemuda biasa yang memimpikan hidup di tengah keberkahan para sesepuhnya.
Layaknya sekarang, jika Rumaisha menduduki kelas 12 Aliyah, Ibra duduk di bangku perbukuan. Ya, lelaki itu mencari kesibukan dengan mengabdi sebagai penjaga toko buku serta kitab di lembaga.
"Kenapa, Sha? Ikut yuk beli kitab!" Suara teman mengagetkannya.
"Eh, kamu mau beli kitab?"
Temannya hanya mengangguk.
"Nitip ya!"
"Nitip apa?"
Rumaisha tampak berpikir sejenak, "Minta kertas selembar!"
"Nih!"
Seperti sebelumnya, Rumaisha menuliskan susunan huruf untuk sosok Ibra. Entah kalimat apa, yang pasti senyumnya terbit seketika.
"Beres. Nih, kasihkan ke penjaga toko!"
"Dasar! Ok deh."
.
.
.
Malam menyapa, tak ada lagi kegiatan sekolah melainkan ngaji bersama. Detik ini, Rumaisha duduk bersandar tabir yang memisahkannya dengan anak adam. Dalam diamnya, Dia berharap sosok Ibra segera hadir di tengah kebisingan para remaja yang sibuk membicarakannya.
"Kang Ibra mana sih kok nggak dateng-dateng?"
"Duh, ngefans banget sama suaranya."
"Ganteng, baik pula."
"Kang Ibra pantes jadi ustadz di sini."
Bisik-bisik santriwati sangat membakar hatinya. Sejenak, semua bungkam saat Dia yang ditunggu telah datang. Ya, lelaki itu sesekali membantu mengisi kegiatan. Layaknya detik ini, suara merdunya menjadi ladang tuk berbagi.
'Calon mantu Umma, Qori', vocalist hadhroh.' Pekiknya senang dalam hati.
"Depan pojokan, kenapa diam aja? Coba ulang bait pertama!"
Ah, melamun membuatnya tertinggal dengan seni olah suara yang dipimpin sosok Ibrahim.
"Ayo!"
"Harus ya, Kang? Bukannya suara wanita itu aurat?" Cicitnya pelan.
"Kalau suara wanita itu aurat, terus kenapa kamu berbicara padaku sekarang?"
Riuh tawa menggema dalam bangunan suci. Sungguh, Rumaisha sudah menahan malu sedari tadi.
"Ok dengar semua! Bahkan Rasulullah pernah menghadiri sebuah pesta pernikahan, saat mendengar wanita membawakan lagu, apakah beliau melarang? Tidak. Beliau tetap memintanya untuk melanjutkan."
"Jadi?" Gadis itu memberanikan diri untuk memancing penjelasannya.
"Jadi?" Tanyanya yang justru heran.
"Hukumnya, Kang?"
"Mubah, paham?"
'Maisha juga udah tau kok Kang, cuma nanya doang.' Gadis itu cekikikan sendiri di hati.
Hingga program usai, Rumaisha setia berjalan dengan senyum mengembang. Ah, bayangan lelaki itu sudah memenuhi otaknya.
"Hey!"
Dia menoleh dan mendapati Ibrahim berdiri di belakangnya.
"Iya?"
"Ini surat darimu?" Tanyanya cepat.
Maisha mengangguk mantap, tersenyum sekilas, dan segera menundukkan pandangan.
"Yakin?"
Belum mengutarakan jawaban, kembali suara deheman membuat keduanya terlonjak kaget.
"Ekhem!"
'Mampus. Umma, tolongin Maisha,' batinnya lirih.
"Kalian berdua ikut saya!"
Keduanya menunduk. Sejenak, Mereka melangkah mengikuti sosok berwibawa di depannya. Langkahnya terasa lemas seketika.
Dalam ruangan, keduanya duduk dengan guratan resah di wajahnya. Seringkali, Rumaisha memainkan jemarinya dengan ujung khimar putihnya.
"Kalian surat-suratan?" Tanya sang Gus yang begitu menohoknya.
Keduanya mengangguk takut.
"Berarti kalian pacaran?"
Keduanya beku dengan jantung berpacu, sejenak, Mereka menggeleng bersamaan.
"Putus atau nikah sekarang!"
"Astaghfirullah, Gus! Njenengan kok gitu?" Pria muda mendongak seketika.
"Silahkan pilih, putus atau nikah?"
"Menikah!" Ucap sang gadis mantap yang dibalas tatapan tajam oleh sang Pria.
Sejenak, Gus yang menyandang nama Raihan itu menggeleng heran dan diulurkannya sebuah benda pipih pada Maisha.
"Hubungi orang tuamu, suruh ke sini sekarang!"
"S-sekarang? Ini sudah malam, Gus!"
"SEKARANG!"
Dunianya seolah runtuh seketika. Entah sumpah serapah apa yang akan dilontarkan sang Umma dan Buya. Terkejut? Pasti. Lantas, bagaimana dengan masa pencarian jati dirinya? Ah, terkadang bibjr mungilnya butuh pelatihan khusus agar tak sembarang berucap.
Tuuutt tuuttt
"....."
"Waalaikumsalam. Umma dan Buya di rumah?"
"......"
"Bisa kemari sekarang? Maisha dalam masalah," cicitnya sangat pelan sembari melirik lelaki di sampingnya.
"......"
"Waalaikumsalam."
Maisha menunduk sembari mengembalikan ponsel milik gusnya. Napasnya terasa berat membayangkan apa yang terjadi selanjutnya.
Jam 9 malam, tibalah Umma Buya Rumaisha membersamainya. Jantungnya berpacu tak normal mengingat jawaban konyolnya.
"Njenengan orang tuanya Ahza Rumaisha?"
"Nggih, Gus!"
".........."
Ah, Humaira menunduk pilu. Bayangan moment kala itu berputar ulang. Tak apa, namun melalui semua itu bukanlah perkara muda, apalagi sang Ahza hanyalah gadis belia.
"Bagaimana Pak, Bu?"
Bukan menjawab, Umma menatap nanar sang anak.
"Kenapa harus melangkah sejauh itu?"
"Maaf, Umma. Maisha cuma-"
"Apa bener kalian pacaran?"
"Nggak, Umma. Beneran!"
"Terus?"
Rumaisha mendongak dengan mata berkaca. Hatinya sakit melihat sang Umma memasang wajah kecewa.
"Nak, Kamu ini masih sekolah. Perjalanan masih panjang."
"Tadi Maisha asal ngomong, Umma. Mikir aja dripada zina mata terus-terusan." Cicitnya ketakutan.
Umma mengehela napas pasrah, "ayo balik ke kamar sekarang sama Umma!"
"Tapi-"
"Manut!"
Skakmat, Rumaisha tak lagi bisa membantah. Dirinya mengikuti sang Umma sambil merutuki nasib yang menimpanya. Ah, angan-angannya tuk meraih cita terhempas begitu saja. Namun, tak munafik, Dia pun menginginkan sang Pria.
"Wudhu, sholat, berdoa, langsung tidur! Umma ke sana dulu!"
Hanya anggukan lemah yang Ia berikan. Setelahnya, Dia acuh apa yang terjadi di ruangan sana.
.
.
.
Jam 7 pagi, Rumaisha bersiap menimba ilmu di sekolah bersama kawan-kawannya. Di ujung gerbang, tampak sosok pemuda yang sangat Ia kenal membawa sepiring makanan. Kedua netranya bertemu. Sungguh, Rumaisha begitu malu. Sejenak, senyum sang Pria tersenyum smirk.
"Tuh orang senyumnya kok mengejek gitu ya, Sha?"
"Pria aneh. Gitu aja banyak yang tergila-gila."
"Termasuk Kamu?"
"Bicara apa sih? Yuk, masuk!"
Rumaisha, gadis yang banyak tanya kala pembelajaran berlangsung, kini hanya diam tanpa kata. Pikirannya berlari liar kemana-mana, namun tubuhnya beku tiap mengingat moment malam itu.
A break time, lalu lalang teman mencari makan. Begitupun dirinya, duduk di tengah keramaian kantin sekolah. Namun, lidahnya mendadak pahit seketika. Kelezatan jua semerbak harum makanan sama sekali tak menggugah seleranya. Ah, kini Dia menyendiri. Katanya, ingin menenangkan diri.
"Nih, makan!"
Suara khas yang begitu Ia sukai membuyarkan segala lamunannya. Matanya mengerjap dengan bibir terkatup rapat. Dia ingin lari begitu saja namun tak bisa.
"Makasih." Just that, irit bicara, bukan?
"Makan sekarang!"
Malu beradu dengan rasa muak, Maisha berdiri dan mendongak, "siapa Kamu main maksa aja?"
"Aku suamimu!"
Fix, Rumaisha melongo, 'Ibra gila!'
Komentar
Posting Komentar