Senandung Cinta Rumaisha 16

 Siapkan Tisu, karena part ini mengandung bawang 😭



Hidup masih tentang perjuangan. Perjuangan mencari kebahagiaan bersama cita dan cinta.

"Kang," ucapnya menunduk ragu.

"Kenapa? Kok kayaknya sedih gitu?"

Maisha mendongak dan berusaha tersenyum, "nggak apa-apa kok, Kang."

Ibra mengehela napas, "lupa sama janji semalam? Kalau ada apa-apa cerita, Sha!"

Maisha bingung harus menjawab apa, "eh, i-iya, Kang. Nanti saja. Kang Ibra bisa antar Maisha sekarang?"

Lelaki itu begitu meneduhkan, senyum menawannya membuat Maisha merasa tenang seketika.

"Ayo!"

Dalam perjalanan, Maisha tak layaknya gadis cerewet seperti hari sebelumnya. Kini, Dia hanya menunduk, sesekali memindai jalanan. Sesaat, netranya menangkap sosok gadis kecil berada di antara apitan Ayah Bunda.

"Umma, mana hadiahnya Icha?"

"Yee, Umma baik, deh. Hadiahnya bagus!"

"Yee, Icha dapat hadiah lagi dari Buya."

"Umma, setiap tahun buatin Icha kue seperti ini yaa."

Tes

Buliran bening menetes, sesekali isakannya terdengar meski sangat lirih. Ibra mampu mendengar itu, hatinya sakit mengingat gadisnya menyimpan sendiri lukanya. Lelaki itu pun menepikan motornya. Dia menatap Maisha iba. Sorot matanya menampakkan rasa lelah.

"Sayang, nangis?"

Rupanya, Maisha tak menyadari bahwa motor telah berhenti namun bukan di tempat tujuannya.

"Eh, kang. Sudah sampai? Maisha masuk dul-"

Ibra mencekal tangannya, mengehntikan langkahnya, "ada yang kamu sembunyikan, kan? Katakan!"

Maisha kelu, lalu tersenyum dan menggeleng kikuk, " nggak, Kang. Maaf, Maisha cuma capek, banyak tugas."

"Ya sudah, ayo berangkat!"

Tiba di depan bangunan megah kebanggaan Rumaisha dan mahasiswa seangkatannya, Maisha turun, berpamitan pada sang suami.

"Sha, beneran nggak ada apa-apa, kan?"

"Bener, Kang. Nanti Kang Ibra pulang jam berapa?"

"Aku usahakan sore sudah di rumah."

"Bener?" Maisha kembali riang mendengar itu.

Ibra menoel hidung istrinya dengan senyumnya yang sangat manis, "demi kamu!"

See, sesedih apapun sosok wanita, saat seseorang yang dicinta hadir dan menghiburnya walau sederhana, luka itu musnah entah kemana. Begitupun Rumaisha, rasa gundah tak lagi ada deti itu juga saat sosok suami begitu mempedulikannya.


.


.


"Ekhem"

Lagi, Maisha begitu membenci suara itu. Suara yang telah mengganggu ketenangan harinya, sosok yang hampir menjadi jurang antara dirinya dan Ibra.

Maisha tetap melanjutkan langkah, namun derap kaki di belakangnya masih setia membersamainya. Lelah, Maisha menileh seketika hingga membuat pria itu hampir menubruk tubuh mungilnya.

"Eh, sorry. Kamu sih berhenti mendadak."

"Sebenernya mau kamu itu apa? Kenapa selalu mengikutiku?"

Lelaki itu terkekeh, "mauku? Sederhana kok. Cukup menjadi temanmu, just that!"

"Kamu lelaki atau perempuan?"

"As you see!"

"Kalau begitu carilah teman laki-laki!"

Kali ini, lelaki itu menatapnya datar, "bukankah kita boleh berteman dengan siapapun?"

Ah, Maisha tak bisa menjawab apapun sekarang. Nyatanya, lelaki itu benar. Sejenak, hatinya bergejolak, adakah yang salah dengan pertemanan?

"Aku permisi!"

Maisha berjalan cepat, meninggalkan Fauzan yang masih berdiri menunggu jawabannya. Sadar sang gadis telah berlalu, Dia menyunggingkan senyum.

"Kamu memang berbeda dari yang lain. Orangtuamu pasti sangat hebat."


.


.


Depan kelas, Maisha tak lagi melanjutkan masuk ke dalamnya. Gadis itu memilih duduk di kursi silver yang tersedia tepat di samping pintu kelasnya.

"Ahza!"

Sejenak, Maisha memutar bola malas. Bukan tak senang, hanya saja, moment beberapa detik yang lalu begitu merusak moodnya.

"Hey, happy birthday, sayang!"

Maisha menoleh seketika, mendapati temannya membawa cupcake mini lengkap dengan angka 18 di atasnya. Hatinya terenyuh akan kepedulian teman yang baru dikenalnya itu.

"Nadia, kamu kok tau?"

Nadia terkekeh, "tau dong, tuh kejutan selanjutnya," Nadia menunjuk arah belakang.

Tampak di sekitar lorong sosok gadis sedikit gembul berjalan ke arahnya. Senyumnya mengembang begitu saja. Maisha? Terkejut campur haru melihatnya.

"Alif?"

Gadis itu merentangkan tangan, mengisyaratkan bahwa Dia begitu merindukan Rumaisha. Rasa rindu itu juga ada pada diri Maisha.

"Alif, Maisha kangen."

"Cyee, kangen. Kangen aku apa kangen ekhem," dia berbisik, "Babang Ibra."

Maisha mendelik dan tertawa seketika, "inget aja sih, Al."

"Iya lah, satu-satunya cewek yang tak tau malu mengirim surat padanya. Duh, menggemaskan sih, Sha!"

"Diem, malu!"

"Main ke pondok yuk! Siapa tau ntar ketemu doi."

Maisha menelan salivanya, "eh, besok aja Al."

"Ekhem, aku dikacangin!"

Maisah dan Alif tertawa bersamaan.

Sejenak, Maisha memandang keduanya heran sedang Alif tersenyum menyadarinya.

"Heran ya kok bisa kenal gitu?"

Maisha menggangguk menanggapinya.

"Kita tetangga, Sha. Dia sering cerita lho tentang kamu."

"Seriously?"

"Iya. Eh, sepupuku juga kuliah di sini. Ganteng lho orangnya, kang Ibra aja kalah, ekhem."

Maisha melotot seketika, "diem, Al!"

Alif tertawa melihat tingkah sahabatnya itu, "ya udah, masik dulu gih! Ntar ketemu lagi. Aku mau ketemu sepupuku dulu!"


.


.


.


Jam 2 siang, Maisha pulang lebih awal. Tiba di pintu gerbang kampus, Alif datang menghadang dengan senyum khasnya.

"Sha, buru-buru?"

"Emm, nggak juga sih. Ada apa?"

"Eh, itu." Alif tampak merogoh tas dan mengeluarkan sesuatu yang terbungkus kantong kresek hitam,

"Untukmu, Sha. Bukanya pas sudah nggak sibuk aja ya!"

"Lha, emang kenapa?"

"Biar terasa aja hehe."

"Dasar Alif. Aku duluan, ya!"

Gadis itu begitu bersemangat untuk pulang. Meski dengan angkutan umum, bayangan suami pulang cepat dan mengobrol bersama membuatnya begitu riang.

Ting

Tampak nama kang suami sedang mengirimkan notif pesan. Maisha segera membukanya. Ah, hatinya sakit membaca itu.

Kang suami


Assalamualaikum. Sayang, maaf ya, pulangnya telat lagi. Mungkin sampe malam. Maisha main ke Umma aja dulu!

Detik itu juga, gadis itu kecewa. Tangannya memasukkan ponsel tanpa membalasnya. Biar saja, dia ingin berdiam diri dulu, begitulah katanya.

Tiba di rumah Umma, sesuai permintaan Ibra, kini Rumaisha masuk dengan hati yang dongkol.

"Hey, ada apa peri kecilnya Umma?"

"Umma juga lupa ya? Kenapa semuanya menjengkelkan sih?"

Maisha tak hentinya bicara dengan nada kecewanya. Sedang Umma tertawa melihatnya.

"Ya udah kalau marah, Umma punya kue kesukaan Icha kecil lho."

Sejenak, Maisha menoleh dan berlari menuju meja. Buya sudah duduk dengan gagahnya, merentangkan tangan untuk sosok Icha yang seringkali dimanjakannya kala itu.

"Aaa, kalian sweet banget sih. Maisha terharu." Gadis itu berhambur ke pelukam sang Buya.

Perayaan sederhana, namun begitu berharga dalam hidupnya. Banyak terselip doa, karena sejatinya umur sang Rumaisha berkurang 1 angka. Dunia, hanya tentang bertambah dan berkurang, entah bahagia, kecewa, suka, juga duka.

"Tadi kenapa mukanya ditekuk gitu, hmm?"


Tanya Umma sembari menyantap kue bersama.

"Lagi sebel sama kang suami."

"Kenapa, nak? Ada masalah?" Buya ikut bertanya.

Ah, Maisha tak melanjutkan katanya. Gadis itu sadar tak seharusnya mengungkap segala keluh kesah rumah tangga meski pada Umma Buya.

"Nggak apa-apa. Maisha di sini dulu, ya. Pulang nanti malam aja. Eh, nginep."

Sungguh indah, saat orangtua memahami keadaan. Keduanya mengangguk dan tersenyum hangat. Sejenak, Maisha merasakan rasa lega dalam dadanya.

Malam tiba, Maisha seolah enggan beranjak. Namun hatinya pun riuh bergejolak ingin segera jumpa Pria yahg dirindukannya.

Ting

Kang suami


Assalamualaikum. Kok belum pulang?

"Nggak peka, kenapa nggak ada inisiatif jemput sih. Ibra ngeselin."

Ting

Kang suami


Sayang, kok di read aja dari tadi.

"Ih, ngeselin, kan. Tapi Maisha rindu. Gimana dong?" Monolognya sendiri dalam kamar.

Tak tahan, Dia berbenah diri dan mencari keberadaan Buya.

"Buyaa!" Teriaknya di depan kamar.

Tak lama, Buya keluar dan memandangnya heran, "ada apa sih kok teriak-teriak?"

"Maisha mau pulang. Anterin ya!"

"Katanya mau nginep?"

"Nggak jadi, Maisha kangen Kang Ibra."

"Duh, Maisha! Ok, ayo!"


.


.


.


Jam 9 malam, hunian sederhananya tampak sangat sepi. Ya, sepi karena memang hanya ada Rumaisha dan Ibra. Mungkin, kini Ibra sedang tidur, begitulah batin Rumaisha. Gadis itu sedikit malas melangkah masuk namun dia tak bisa mengelak bahwa dia pun merindukan Ibra.

Masuk ruangan, tak ada tanda-tanda Ibra habis makan, atau melaksanakan kegiantan lain. Melangkahlah kakinya menuju kamar.

"Aaaaaaa, Umma, Maisha takut!"

Gelap, semua gelap. Gadis itu ketakutan, dia terisak dan luruh memegangi lututnya. Sejenak, sinar kecil datang dan bisikan lirih membuatnya bisu seketika.

"Selamat ulang tahun, istriku sayang."

Ah, itu suara Ibra. Maisha menoleh dan memeluknya seketika, "kang Ibra jahat!"

Ibra terkekeh dan memeluknya erat, "maaf ya, sayang. Kejutannya menakutkan."

"Kang Ibra ngeselin, ih!"

"Nggak suka, ya? Aku bawa kue dan hadiah, lho."

Maisha terkekeh, "nyalakan dulu lampunya, Maisha takut kang."

"Oh iya, lupa." Ucapnya sembari mengacak kerudungnya.

Klik

Kamar tampak terang, berdiri sosok Ibra dengan gaya santainya. Meneduhkan, itulah yang Maisha rasakan.

Kini, keduanya duduk dengan kue di atas meja kecil. Ibra memandangnya lekat, tanpa kedip.

"Maisha, doa terbesarmu apa hari ini?"

Maisha menatapnya berkaca, "Rumaisha dan Ibra menjadi satu selamanya."

Ibra terkekeh, "cukup simple, tapi berhasil membuat Ibra baper."

"Ih, ngeselin lagi kan."

"Bener kan, sederhana tapi sangat istimewa."


Sejenak, lelaki itu nenunduk.

"Kenapa, kang?"

Ibra mendongak dan mengambil sesuatu di laci, "maaf ya, nggak bisa ngasih hadiah mewah."

Maisha meraih dan memeluk sang suami, "kang Ibra itu hadiah teristimewa. Maisha nggak butuh apa-apa, cukup Kang Ibra membersamai Maisha."

"Syukron, Rumaisha."

Keduanya tersenyum bahagia, menyantap kue bersama. Bahagia sesederhana itu, bukan? Asal ada dia yang dicinta, bahagia terus menyapa.

"Maisha ke kamar mandi dulu, ya kang!"


Ibra mengangguk menanggapinya.

Usai mandi, membersihksn diri, Maira melangkah keluar. Sesaat, dirinya bungkam mendapati Ibra memegang benda dengan gemerlapnya. Gadis itu melangkah cepat dan memekik kesenangan.

"Maasyaa Allah, indah sekali kalungnya. Ini untuk Maisha, Kang?" Gadis itu duduk dan mengambil kalung yang berbalut berlian.

"Iih, Maisha suka. Pakaikan dong, Kang! Biar romantis." Maisha setia dengan senyumnya sedang Ibra hanya diam.

"Kang?"

Ibra tak tahan, dia memasukkan lagi kalung itu dalam wadah merahnya lengkap dengan keresek hitam yang membungkusnya. Ibra memberikan pada sang Istri dan segera berbaring memunggunginya.

Maisha heran akan perubahannya dan segera memeriksa ada apa di balik kado itu. Sejenak, dia ingat bahwa Alif lah yang memberikannya siang itu. Tampak kertas kecil terselip dalam wadah kalungnya.

To : Ahza

Selamat ulang tahun, Ahza. Terimalah hadiah ini sebagai tanda pertemanan kita.

Sincerely yours,


Fauzan

Duar

Ahza mencelos menyadari kebodohannya. Berlian? Indah? Suka? Ah, kata-kata itu pasti menampar hati suaminya. Dia beringsut memeluk Ibra. Ah, betapa terlukanya hati Pria itu.

"Kang, Maisha nggak tau. Maaf, kang!"

Diam, lelaki itu masih diam. Napasnya terasa sangat berat.

"Kang, Maisha juga nggak butuh itu. Maisha cuma butuh kang Ibra."

Ibra tak bergeming sama sekali. Maisha duduk dan membuka bingkisan dari sosok Ibra. Tampak buku kecil bertuliskan,

"Menggapai Surga Bersama Kekasih Halal",

gadis itu menangis seketika.

"Kang, hadiah dari Kang Ibra lebih indah. Maisha suka." Gadis itu terisak mengucapkannya.

Sekali lagi, Maisha merengkuhnya, terisak dalam pelukannya sedang Ibra masih menahan kecewanya.

"Kang, Maisha siap menggapai surga bersama Kang Ibra."

1 detik


2 detik


Bahkan hingga 1 menit

Ibra tak mengeluarkan kata. Maisha lelah dan berbaring sembari memeluknya, "Maisha sayang Kang Ibra,"

Terlelap dalam tangis dan penyeselannya, gadis itu menampakkan mata sembabnya.

Ibra? Bahkan sekedar memejamkan mata saja tak bisa. Dadanya terlalu sesak. Sesaat dia duduk, mengambil 2 kado bersaaman. Tangan kanan dengan buku kecil, tangan kiri dengan berlian mungil.

"Bahkan aku tak bisa memberikan apa yang kamu harapkan, Sha!"

See, Ibra menangis, hatinya sakit. Bersusah payah merangkai kejutan, beradu seharian dengan adonan bekal sang Umma. Ya, diam-diam dia merangkai semua ini. Meski sederhana, namun perjuangannya tak biasa.

Ibra berbaring dan memandang sang istri, "maafkan Aku, Sha. Belum bisa membahagiakanmu."

Ibra mendekat dan mencium keningnya lama, merengkuh dengan cinta, "aku mencintaimu."

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Senandung Cinta Rumaisha 14

Senandung Cinta Rumaisha 17

Senandung Cinta Rumaisha 15