Senandung Cinta Rumaisha 15

 Ummi….


Tsumma ummil haddi akhir yaumfa’umri


Hubbi min awwil haya tiwhammuhammi


Illi kattar khoir hadab


khoir hafi dammi wa’aishfi

Detik ini, Rumaisha berdiam di kamar menunggu sang suami yang sedang bertugas di pesantren sejak siang tadi.

"Umma, Maisha kangen."

Sejenak, tangannya mengambil ponsel dan mencari kontak bernamakan kang suami.

Me


Assalamualaikum, kang suami. Kang, Maisha rindu Umma. Habis ini main ke Umma Buya, yuk.

5 menit, balasan dari Ibra membuatnya memekik kesenangan.

Kang suami


Waalaikumsalam, istriku. Iya, Maisha siap-siap dulu. Habis ini selesai ngajinya.

Hatinya begitu riang, gadis itu pun bersemangat berbenah diri.

Sempurna, Maisha duduk di depan kaca sembari memandangi wajah ayunya. Tak di sangka, sentuhan lembut di pundaknya membuatnya terlonjak seketika.

"Terlalu fokus dandan sampe suami pulang nggak diperhatikan. Dandan buat siapa sih, hmm?" Tanya Ibra lirih di telinga kanannya.

Maisah menoleh dan menyambutnya dengan salim ta'dzim, "maaf ya kang, Maisha nggak denger. Emm, dandan buat kang suami lah, ih."

Ibra tertawa dan mengelus pipinya lembut, "yuk, katanya rindu Umma."

Keduanya menuju istana Umma Buya, melepas rindu bersama.

Kini, semua berkumpul menikmati jamuan sang Umma. Obrolan demi obrolan mengalir ringan. Sungguh menyenangkan, bukan?

"Umma,"

"Ya?"

"Dulu Umma pernah bilang kalau pernah ada masalah sama Buya karena orang ke 3, detailnya bagaimana?"

Ahza, dengan polosnya menanyakan pekik permasalahan rumah tangga orangtua kala itu. Ibra menyenggol bahunya berharap tak lagi banyak tanya.

Buya menimpali, "ekhem, sayang, itu masa lalu. Ada apa? Apa ada masalah sama kalian?"

Maisha menunduk sedang Ibra tersenyum kikuk.

"Nak Ibra, ada apa?" Buya menanyakan pada Ibra karena tak ada jawaban dari sang Ahza.

"Eh, itu Buya. Emm, ada cowok yang ngejar-ngejar Maisha," dia berucap sangat lirih.

Umma menelan saliva, raut wajahnya berubah seketika. Khawatir, itu yang dirasakannya.

"Siapa? Maisha sering ketemu, nak?"

"Nggak tau, Umma. Maisha nggak kenal, tapi cowok itu ngejar terus."

Umma mengangguk paham, "sayang, jangan goyah ya!" Umma memandang Ibra, "Nak Ibra, apa kamu percaya pada istrimu?"

Ibra mengangguk mantap, "insyaa Allah, Ibra percaya."

Umma dan Buya saling pandang, menatap keduanya penuh sayang, "dengar, rumah tangga itu penuh dengan warna. Tugas kalian untuk melukis kisah yang indah, bukan penuh duka. Paham?"

Ya, warna yang mewakili rasa. Itulah rumah tangga, sedetik bahagia, sedetik datang luka. Lantas, bisakah pelaku mencegah jua mengubahnya?


.


.


.


Halaalii anti laa akhsyaa 'azuulan himmuhuu maqti.


Laqod adzinaz zamaanu lanaa biwushlin ghoiri munbatti.

Senandung cinta yang diidamkan Rumaisha dari sosok Ibra di suatu walimah. Ah, gadis itu membayangkan betapa hangat dan bahagia hatinya. Dua insan mengungkap status halalnya, menutup potensi celaan orang. Keduanya telah menjadi satu, satu tujuan tuk selamanya.

Ahza Rumaisha, kini tengah berbaring di atas paha Ibra yang bersandar di atas ranjang. Keduanya menghabiskan waktu malam bersama, memanfaatkan sedikit waktu yang ada.

"Suka banget ya sama lagu itu?" Tanya Ibra sembari memainkan rambut lurusnya.

Maisha memandangnya dan tersenyum, "sangat suka, apalagi kalau Kang Ibra yang nyanyi untuk Rumaisha."

"Ya udah Aku nyanyikan sekarang."

Maisha terkekeh mendengarnya, "kang, Maisha pernah memimpikan sesuatu yang indah bersama Kang Ibra."

Ibra mengernyit, "tentang?"

"Tentang kita lah, Kang. Ih, kapan sih kang Ibra peka kayak Buya?"

"Dih, ngambek!" Ibra mencium keningnya sejenak, "memimpikan apa?"

Wanita tak bisa lari dari segala obsesinya, termasuk cinta. Ahza, kini menerawang ke atas, mengingat masa abunya yang menaruh rasa indah pada pria yang sudah sah untuknya. Dia suka senyumnya. Dia bergetar saat mendengar suara merdunya. Dia mengasihi caranya bertutur kata. Tak heran, banyak akhwat yang menaruh harap padanya.

Ibra, pria biasa namun berbalut sifat 'alim lagi sholih. Tanpa Abah, tanpa Umma, sosok itu berdiri tegak menerjang segala rintangan. Tholabul 'Ilmi, itu yang Dia idamkan hingga membujuk diri menjadi abdi ndalem sejak masa Ibtida'iyah. Layaknya seorang Gus, tiada waktu yang terlewat baginya untuk bertutur kisah pada Abah Yai yang diagungkannya.

"Kang Ibra tau kan kalau Maisha cinta Kang Ibra sejak dulu?"

"Iya, terus?"

"Maisha berdosa sudah sering curi pandang. Umma sering menasehati, tapi gadis konyol ini masih bandel."

Ibra terkekeh sembari mengelus kepalanya, "kamu memang beda dari yang lain."

"Emm, kang, Maisha sering menyebut nama Kang Ibra saat tahajjud bersama dulu. Tau nggak kenapa Allah mengabulkan secepat itu?"

"Emang kenapa?"

"Karena Maisha tulus."

"Cyeee. Ekhem, suasana kok jadi gerah gini ya, Sha." Ucapnya sembari mengibaskan tangan.

"Serius ini, kang. Jarang-jarang lho kita pacaran gini."

Sekali lagi, lelaki itu terkekeh, "Iya, sayang. Lanjut!"

"Nikah mendadak, maaf waktu itu Maisha asal bicara kang. Maisha sangat ingin bersanding dengan Kang Ibra, tapi di waktu yang tepat. Maisha memimpikan pada acara walimah, kang Ibra menyanyikan lagu Zaujaty untuk Maisha." Ucapanya sambil tersenyum malu.

"Nggak ada yang salah. Andai waktu itu Kita nggak menikah, bisa jadi sekarang Maisha dekat dengan orang lain. Fauzan misalnya, ekhem." Lelaki itu kini pandai menggoda istrinya.

Maisha bangun dan memandangnya tajam, "kang Ibra kenapa sebut nama cowok itu sih? Risih ih. Cowok kok nggak tau malu gitu."

"Tapi pas Maisha ngejar-ngejar Ibra, nggak malu tuh." Ibra terkekeh menahan tawa.

"Iiiih, ngeselin, ngeselin, ngeselin. Dah, Maisha bobok aja."

Maisha kembali berbaring membelakangi sang suami. Sednag Ibra masih tersenyum melihat akasi ajaib sang istri. Kini, lelaki itu menunduk, membujuk, merayu dengan segala kata recehnya.

"Uluuh uluuuh, cintanya Ibra ngambek."

Gadis itu meremang, merasakan hembusan napas Ibra yang begitu terasa di telinga hingga menjalar ke seluruh syarafnya. Dia menahan tawa namun rindu itu kian memuncak.

Sungguh, gadis itu tak kuat. Rumaisha segera berbalik dan bersembunyi di balik tubuh Ibra.

"Kang Ibra bikin Maisha gemes terus."

Dengan sigap, Ibra berbaring di sampingnya, menghadap tepat di depan netranya. Jarak teramat dekat, hingga detak jantung keduanya beradu cepat.

Lelaki itu merengkuh dan membisikkan kata, "Aku juga gemes sama Maisha!"

Sesederhana itu, saat cinta sudah terungkap, pondasi dibangun kuat, dukungan selalu datang menopang, segudang masalah akan selesai semudah mengedipkan mata.

Namun, sekali lagi, hidup itu layaknya roda, tak akan berhenti berputar kecuali sang Kuasa mengizinkan. Tinggal insan bagaimana caranya berpegangan erat, agar saat di atas tak mudah jatuh ke bawah, saat di bawah bisa merangkak ke atas dengan mudah.

"Kang suami,"

"Hmm,"

"Maisha sayang kang Ibra," ucapnya terkikik malu.

Ibra tak melepas dekapannya sama sekali, "pinter gombal sekarang."

"Bener lho, kang."

Sosok Ibra pun mencium keningnya penuh sayang,

"Iya, sayang. Kang Ibra juga sayang Maisha."

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Senandung Cinta Rumaisha 14

Senandung Cinta Rumaisha 17