Senandung Cinta Rumaisha 13

 Lihat, dunia itu luas! Tak mungkin hidup 1000 tahun hanya berteman tawa. Adakalanya lara menyapa meski sekedar singgah. Dengar, mengarungi bahtera rumah tangga tak melulu soal harta! Cinta itu utama, namun kepercayaan modal yang sempurna.

Saat dua insan menjalin cinta, namun masih menyimpan dusta meski hanya satu kata, semua tak ada guna. Yang katanya cintanya sudah tertanam rapat, yang katanya sudah rindu berat, semua itu hanya ungkapan keparat yang membuat hati semakin tersayat.

"Kang, percaya sama Maisha?" Rumaisha menghentikan kunyahan sesaat.

Ibra pun ikut menghentikan makan, memandang lekat wajah Ahza, "Sha, Aku percaya. Sekarang, ayo makan!"

Percaya? Apa definisi percaya? Hanya sekedar kata 'Ya percaya'? Atau ada hal lain yang lebih istimewa?

"Kang,"

"Apalagi sayang?"

Hati Maisha yang sedikit resah berubah riang seketika, "duh, Maisha baper."

"Maisha, Maisha. Apa Kamu juga bersikap selucu ini pada teman pria di luar?"

Maisha mendelik seketika, "Eh, kok nanyanya gitu, kang?"

Ibra hanya mengedikkan bahu singkat, "Who knows?"

"Katanya tadi percaya? Kok gitu? Kang Ibra meragukan Maisha?" Sungguh, hatinya sakit.

Ibra berdiri dan mendekat. Tangannya mengusap lembut kepalanya, "ingat, Ahza ini milik Ibra."

Tanpa perintah, kepala Ahza bersandar pada pinggangnya, tangannya merengkuh dengan rasa yang indah,

"selamanya, kang. Cuma kang Ibra di hati Maisha."

"Sweet banget istri Ibra."

Ada apa dengan Ibra? Seolah virus merah jambu sudah melekat di hatinya, hingga benih bucin mulai terpampang nyata.

"Kang Ibra nggak kesurupan, kan?"

"Kesurupan Kamu." Ucapnya semabari mencubit hidung sang istri.


.


.


.


Dunia perkuliahan, tak hanya satu insan melainkan ratusan hingga ribuan. Maisha, gadis berstatus mahasiswa fakultas bahasa, berjalan dengan anggunnya menyusuri jalan setapak menuju gerbang kampusnya.

Tibalah di depan bangunan megah, matanya menerawang ke atas, tangan sedikit menengadah, bibir berucap hamdalah pada Rabbnya.

"Alhamdulillah. berkahi langkah hamba, yaa Rabb!"

"Ahza!"

Suara itu, lelaki yang katanya penyandang nama Fauzan sudah berdiri tepat di belakangnya. Sungguh, Maisha tak berbalik namun hapal betul suara itu.

"Ahza!" Lelaki itu telah lancang menepuk bahunya.

Maisha berbalik dan memandangnya tajam, "tangannya dijaga ya, Mas!"

"Sorry! Aku cum-"

"Assalamualaikum!" Maisha menyela dan masuk ke halaman begitu saja.

Sedang sang Pria? Beku tanpa kata, melongo memandanginya.

"Tingkahmu membuatku semakin penasaran."

Dalam kelasanya, Maisha mengingat bagaimana pria itu menyentuhnya. Bukan kejam, namun Ia sungguh takut Pria halalnya kecewa, menaruh curiga, dan berujung petaka.

Gadis itu mengingat betul bagaimana dulu sang Umma Buya merajut asa. Tak ada yang mudah, selalu ada duka yang mengusik ketenangannya.

"Sayang, adakalanya masalah datang. Rumah tangga bisa roboh kapan saja. Tapi ada cara untuk mempertahankan."

"Apa Umma?"

"Kepercayaan. Bangun modal itu dengan kuat. Karena sekali goyah, semua akan musnah. Paham?"

Gadis itu mengingat nasehat sang Umma kala itu. Ah, Maisha menangis detik ini. Bayangan malam dimana Ibra hampir mengumpat kasar serta marah besar, berputar-putar di kepala.

"Kang Ibra, lagi apa ya sekarang?"

Beruntung dosen belum tiba, tangannya mengetikkan kata tuk sosok yang disayanginya.

Me


Assalamualaikum. Kang Ibra lagi apa? Lagi di ndalem?

Kang suami


Waalaikumsalam. Habis ngantar Abah pengajian. Ini rehat di mobil. Tumben? Kangen?

Maisha tersenyum. Desiran itu begitu hebat mengoyak hatinya.

Me


Kangen nggak dosa kan, kang?

Kang suami


Kalau sama Ibra nggak dosa kok.

Me


Ih, gemes deh. Maisha pengen cepet² pulang.

Kang suami


Belajar dulu yang rajin, sayang. Sudah dulu, Assalamualaikum.

Sayang? Batinnya menjerit seketika. Bibirnya melengkung menahan tawa. Ah, Dia sudah gila akan pesona Ibra.

"Za, sehat kan?"

Dia, gadis yang memanggilnya kala dirinya bersama Ibra, Nadia namanya.

"Eh, Nadia. Sehat, lah."

"Za, jadwalnya pindah malam lagi nanti."

"What? Kok gitu sih? Aku nggak berani pulangnya."

"Hmm, gimana lagi, Za. Kalau rumah kita searah pasti aku antar sekalian."

Maisha hanya diam, memikirkan nasibnya nanti malam. Great, idenya muncul dan segera mengambil ponselnya.

"Chat siapa, Za? Abangmu?"

Maisha mendadak kelu, Dia pun mengangguk ragu.

"Namanya siapa, Za? Kalem banget, Aku seneng lihatnya."

Maisha menoleh dan cengo seketika, "jangan macam-macam ya, Nad!"

"Duh, dedeknya marah. Tapi, bener lho. Dia pria yang meneduhkan." Ucapnya sambil menerawang.

"Sinting Kamu, Nad!"

Maisha merasa sebal dan bergegas keluar sedang Nadia tak menyadari perubahan sahabatnya.

Dalam kegundahannya, Maisha berjalan tanpa mempedulikan arah. Sekali lagi, Pria itu datang tanpa aba-aba, bahkan lebih parah. Parah? Ya, Maisha hampir terjengkal karena tubuh kekarnya namun tangannya sigap menopang.

Tepat 3 detik, Maisha menahan napas. Kaget, Dia melepas kasar tangannya. Hatinya mengumpat, ingin sekali memberi tanda merah pada pipinya, dengan tangan mungilnya.

"Sepertinya kita jodoh, baru kenal sudah 3 kali bertemu."

"Karena sekampus. Pria aneh!"

"Kamu lebih aneh."

Maisha pias mendengarnya dan menjauh, namun Fauzan tetap mengikutinya.

"Tunggu, Za!"

"Apa lagi?"

"Kenapa Kamu tak bisa bersikap ramah?"

"Ramahku hanya pada orang yang tepat. Paham?"

Marah, Maisha meninggalkannya begitu saja, tanpa kata, tanpa salam. Kejamkah? Percayalah, Dia begitu ingin menjadi gadis ramah pada semua. Namun, ada kalanya keramahan harus diredam demi menekan segala masalah.


.


.


.


Seperti malam itu, detik ini Maisha duduk menunggu kekasihnya. Kakinya tak berhenti mengehentak tanah saat Ibra belum tiba jua.

"Kang Ibra kok lama?"

"Hey, ketemu lagi. Ayo Aku antar!"

Sungguh, Maisha begitu takut saat ini.

'Duh, kalau kang Ibra datang bisa perang ini.' batinnya.

"Mending kamu duluan. Jangan ganggu aku!"

"Hey nona. Aku mau membantu bukan menganggu. Ayo!"

Detik ini, sinar menyala terang, menyilaukan matanya. Pria dengan sepeda kesayangannya berhenti dan memandangnya sendu.

"Naik, pulang!" Ucapnya tanpa jeda.

Maisha ketakutan, Dia berdiri dengan gemetar. Menaiki sepeda bak mendaki gunung di ujung sana.

'Allah, bagaimana kalau ada salah paham lagi?' Batinnya begitu lirih.

Selama perjalanan, tak ada obrolan. Hingga tiba di rumah, Ibra melenggang masuk tanpa kata. Maisha tak ingin memperkeruh suasana. Dia segera memasuki kamar mandi tuk berbenah diri.

"Kang, makan yuk!"

Ibra mendongak, "makan saja, Sha! Lagi nggak nafsu."

Maisha mendekat, menaiki ranjang dan menyandarkan kepala di bahu suaminya.

"Maisha juga nggak makan."

Ibra diam. Sungguh, Dia ingin berkata, bertanya banyak hal, namun takut emosi meledak seketika.

"Kang, kata Umma, modal terbaik dalam rumah tangga itu kepercayaan."

Lelaki itu masih diam. Percayalah, Ia begitu mendengarkan segala ocehannya.

"Tanpa itu, hubungan bisa retak kapan saja."

Maisha menghela napas berat, "kang, apa kang Ibra sudah bisa merasakan cemburu?"

Tetap tak ada jawaban. Lelaki itu masih setia dengan keheningannya. Merasa lelah, Maisha membaringkan diri, mencoba memejamkan mata.

Rupanya, Ibra menoleh ke arahnya. Rasa iba kembali muncul. Rasa bersalah hinggap begitu saja. Lelaki itu menunduk, mengelus wajah istrinya dengan lembut. Tekad itu sungguh kuat, dia mengecup kening Rumaisha begitu lama.

"Kamu tau, Aku mulai merasakan cemburu." Ucapnya sembari memandangi wajahnya.

Maisha membuka mata seketika, "Alhamdulillah, kang suami cemburu? Sudah cinta dong?"

Ibra memundurkan tubuh begitu saja, "Allah, nih bocah ngagetin aja."

"Kang Ibra cemburu?" Maisha menggerliangkan matanya.

Ibra berbalik begitu saja, tak menghiraukan ocehan istrinya. Diam-diam, lelaki itu tersenyum. Sedang Maisha mendekat dan mendekapnya. Mencoba mencari posisi terindah tuk memejamkan mata bersama.

"I love you, kang suami."

Lelaki itu menghangat namun tetap diam tanpa menoleh. Hatinya berbicara jelas,

"I love you too, Ahza sayang."

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Senandung Cinta Rumaisha 14

Senandung Cinta Rumaisha 17

Senandung Cinta Rumaisha 15