Senandung Cinta Rumaisha 11
3 bulan sudah, Rumaisha menyandang status ibu rumah tangga sekaligus mahasiswa. Kehidupan berubah total, kesibukan tak pernah behenti menghampiri. Rasa lelah seringkali melanda, kadang pula tangis pecah seketika. Dia lelah dan ingin menyerah. Ah, rupanya kata hanya sebatas kata. Saat sesorang mampu berucap, belum tentu mampu bertindak.
Detik ini, Rumaisha duduk berselonjor di depan layar kaca. Tanpa mengganti pakaian, tas pun tergeletak begitu saja. Dia melamun sembari menahan lelah fisik dan otaknya.
"Duh, kok Maisha nggak kuat ya."
Dia kembali menopang dagu, berpikir sesuatu, "sebentar lagi Kang Ibra pulang, belum masak. Aaah, Umma, Maisha capek."
Sejenak, gadis itu menyandarkan kepalanya di atas dudukan sofa. Kantuk itu begitu hebat menyerangnya hingga tak sadar memejamkan mata.
Jam 5 sore, sosok pria masuk dengan guratan lelah. Hendak melangkah lebih jauh, binar matanya redup seketika melihat sang Ahza tergeletak dengan bebannya. Namun, ego itu muncul bergantian dengan empatinya. Lelaki biasa, akankah dirinya berlaku sewajarnya?
"Sha!"
"Sha!"
"Sha!"
3 kali panggilan serta goncangan di bahunya berhasil membuatnya membelalakkan mata. Kaget, takut, lelah, semua riuh menggerogoti jiwanya.
"K-kang, sudah pulang? Maaf, Maisha ketiduran."
"Pulang dari mana-mana itu cuci tangan, kaki, atau mandi sekaligus ganti pakaian."
Gadis itu menunduk merutuki kecerobohannya.
"Maaf, kang. Maisha capek banget tadi. Kang Ibra mandi dulu, Maisha siapin air hangat."
"Nggak perlu, Sha. Mandi air biasa aja."
Lelaki itu melenggang masuk dan melancarkan aktivitasnya. Sedang Rumaisha masih duduk mematung.
"Kayaknya, Maisha salah deh."
.
.
.
Kini, Maisha berkutat dengan bumbu dan peralatan makanan. Ah, Ia harus menahan lelahnya sebentar untuk menyenangkan suaminya. Bukankah itu memang tugas seorang istri?
"Kang, ayo makan! Maisha sudah selesai masak." Maisha mendekat ke arah Ibra yang duduk di atas ranjang.
Lelaki itu hanya mengangguk dan berjalan keluar. Tampak dua piring nasi dengan telur dadar, tahu, dan sayur seadanya. Tak apa, lidahnya sudah terbiasa dengan itu selama menyandang status sebagai santri.
"Kenapa berdiri saja? Ayo duduk, makan sekalian!"
Maisha masih berdiri tepat di sebelah sang suami, "kang Ibra makan dulu, Maisha pengen tau responnya."
"Maksudnya?"
"Kalau nggak enak, Maisha siap dihukum."
Ibra menghentikan kunyahannya seketika. Sejenak, lelaki itu berpikir keras.
"Gimana, kang? Enak?"
"Sesuai permintaan, Kamu wajib dihukum."
Gadis itu tak bisa berkutik. Ucapannya membawa bumerang.
"Em, hukuman? B-beneran kang? J-jadi, masakannya nggak enak?"
"Duduk dulu, makan! Hukumannya habis makan."
Rumaisha menurut, tanpa banyak bertanya. Dia bersusah payah menelan hasil masakannya. Bukan karena tak enak, namun gadis itu terlalu memikirkan hukuman yang akan Ia dapat. Sejenak, Ia menitihkan air mata dan segera mengusapnya sebelum sang suami menyadarinya.
.
.
Dalam kamar, Rumaisha duduk menunduk tepat di samping Ibra. Dia bersiap mendengar dan menerima hukumannya.
"Kang, hukumannya jadi?"
"Jadi lah."
"Apa kang?"
"Coba sini!"
Ibra menyuruhnya mendekat. Gadis itu tetap diam dan menurut.
"Kakinya selonjorkan, Sha!"
Dia menurut namun dengan raut kebingungan, "terus?"
Ibra menidurkan kepalanya pada pahanya, "hukumannya, kamu jadi bantalku semalaman."
Rumaisha melongo, namun tersenyum setelahnya, "hah? Beneran kang? Kalau tau begini, besok-besok masak nggak enak lagi aja deh hihi."
"Ngawur aja. Lagian siapa sih yang bilang masakan Maisha nggak enak?" Ucapnya sambil mencubit hidung gadisnya.
"Kang Ibra." Ah, Ahza begitu polos, tanpa beban mengatakannya.
"Kapan?"
"Ya, itu tadi bilang katanya mau menghukum, berarti masakan Maisha nggak enak dong."
Ibra terkekeh dan mendongakkan wajahnya, "dasar! Nggak usah mellow lagi kayak tadi!"
"Kang, tadi Maisha takut, lho." Cicitnya sembari mengelus rambut Ibra.
"Takut apa?"
Gadis itu menunduk dan berbisik, "takut kang Ibra marah."
"Kamu tau, tadi aku sempat kecewa dan pengen marah."
"Nha, kan bener. Maaf ya, kang. Maisha cuma capek."
"Suamimu belum selesai ngomong, Sha, jangan disela!"
"Eh, maaf kang."
Ibra tampak menghela napas berat, matanya menerawang ke atas, "Tadinya mau marah," sesaat, lelaki itu menatapnya lekat, "tapi lihat cara tidur Maisha yang melas, marahnya hilang."
"Sweet banget sih, kang."
"Sha, tau tugas istri saat suami pulang?"
Gadis itu mengangguk, "menyambut suami, kang."
"Nha itu. Tolong diperbaiki lagi adabnya ya! Ok, kamu capek, aku paham kok. Tapi, seenggaknya menyempatkan bersih-bersih diri dulu. Suami datang, istri sudah seger. Hati jadi seneng, kan?"
"PR Maisha kok banyak ya kang."
"PR apa?"
"Ya itu tadi, PR jadi istri sholehah buat kang Ibra."
Ibra terkekeh mendengar ocehan istrinya, "santai, Sha! Jangan terlalu memaksa. Kamu sudah berusaha. Suamimu nggak sepicik itu sampai harus marah-marah nggak jelas."
"Maisha beruntung dapetin kang Ibra."
"Masa'?"
"Ih, nyebelinnya kumat lagi."
.
.
.
Sepertiga malam, malam terbaik tuk mengadu kisah pada penguasa alam. Dua anak adam terbangun dan memanjatkan doa bersama. Harapan besar tuk keluarga kecilnya, ada bahagia di hari-harinya.
Rumaisha, tanpa sengaja meneteskan air mata. Hal yang tak begitu Ibra sukai saat gadis halalnya berkeluh kesah.
"Kenapa lagi?"
"Kang, Maisha pengen berhenti kuliah aja."
Ibra terkejut akan penuturannya, "nggak! Kenapa sih?"
Maisha mendekat dan memeluk sang suami, "Maisha nggak enak sama Kang Ibra. Ongkos kuliah nggak sedikit, Kang."
"Hey, kenapa begini? Mana Maisha yang super cerewet dan gigih itu?" Ucapnya sembari mengelus kepalanya.
"Maisha serius, kang."
"Aku juga serius, lho. Kalau Maisha mendadak berhenti, artinya nggak mengharagai usahaku selama ini."
Maisha mendongak dan semakin merasa bersalah, "nggak, justru Maisha sangat menghargai kang Ibra. Maisha... Maisha takut kalau," dia tak berani melanjutkan perkataannya.
"Takut kalau apa?"
"Maisha takut kang Ibra emm,"
"Takut aku iri, malu, dan nggak punya harga diri karena istrinya berpendidikan lebih tinggi. Begitu?"
Maisha mengangguk takut.
"Kenapa bisa berpikir seperti itu?"
Gadis itu hanya menggeleng dan menenggalamkan wajahnya ke dada bidang sang suami.
"Selagi Maisha masih paham hak dan kewajiban, suamimu ini bisa menerima. Paham?"
"Kang, tapi Maisha capek, berat menjalaninya."
"Berat? Artinya Maisha nggak ikhlas?"
"Eh, ikhlas kok kang."
"Yakin?"
"Yakin."
"Nggak bohong?"
Maisha mengangguk mantap.
Ibra mendekapnya erat sembari mengelus kepalanya penuh kasih sayang. Sejenak, Maisha merasakan getaran terindah dalam kalbunya. Ya, cintanya pada sang suami sungguh tak main-main.
"Kang, percaya nggak kalau Maisha itu cinta banget sama kang Ibra?"
"Percaya lah. Sudah kelihatan dari dulu."
"Duh, jangan ngejek ah, kang. Maisha malu nih."
"Biasanya juga malu-maluin. Ya, nggak?"
"Nggak."
Ibra terkekeh. Sungguh senang, bidadarinya kembali tersenyum riang. Ada harap bahwa senyum itu selalu mengembang, menghiasi hari-harinya.
"Kang."
"Hmm."
Rumaisha bangkit, berdiri membungkuk tepat di belakang Ibra. Biburnya berbisik lirih, "uhibbuka fillah,"
Dia hendak kabur saking malunya mengutarakan cinta pada lelakinya. Gagal, Ibra lebih dulu mencekal.
"Eits, jangan kabur! Kamu harus dihukum dulu pagi ini!"
"Ih, Maisha nggak punya salah, lho."
Ibra ikut berbisik, "salah Maisha, karena sudah mulai nakal."
Keduanya terkekeh, menyambut pagi dengan senyuman bersama. Percaya, senyuman akan mengubah tangisan menjadi kebahagiaan. Itulah yang dubutuhkan dalam kehidupan.
Komentar
Posting Komentar