Senandung Cinta Rumaisha 10

 "Buya, minta beli boneka itu."

"Buya, besok jalan-jalan ke mall ya."

"Umma, tadi ica lihat gaun bagus sekali. Ica pengen."

"Umma, beli ice cream lagi ya."

Ah, Rumaisha kini tengah menatap foto kecilnya. Tampak jelas dalam potret, gadis berkuncir dua berada di antara Umma dan Buya. Celoteh ringan ala Ahza terngiang-ngiang di telinga. Segala yang Ia minta bisa terwujud dengan mudah, segala yang Ia rencanakan dapat terlaksana seketika.

Namun, hidup adalah rotasi. Kini, sosok anak wanita sholehah pecinta Rabiah itu berada di titik terendah. Ah, bukan terendah, karena nyatanya gadis itu masih jauh lebih beruntung di banding Mereka yang harus menerjang panas dan hujan seharian.

"Umma, Buya, ridhoi Ica kecilmu ini. Semoga Doa Umma Buya selalu meyertai langkahku."

Tepukan pada bahu mengagetkannya. Gadis itu seketika mengusap bulir bening di pipinya. Dia menoleh dengan senyum manisnya, menahan rindu dan tangisnya bersamaan.

"Kenapa? Kangen Umma dan Buya?"

"Iya, Kang."

"Sudah terbiasa jauh dari keluarga selama mondok, kan?"

Rumaisha mengangguk, membenarkan ucapan sang suami, "Maisha boleh peluk nggak, kang?"

"Sejak kapan meluk suami harus minta izin? Nih, peluk aja!"

Sungguh, Rumaisha sekedar ingin menghibur hatinya. Tingkah anehnya itu hanyalah trik tuk menutupi lukanya.

"Sudah. Ayo makan, Sha!"

"Tapi tadi Maisha belum masak, Kang. Belum belanja." Ucapnya menunduk.

"Ada makanan di meja. Tenang aja!"

Rumaisha menyunggingkan senyum semangat dan mengikuti langkah suami. Tampak 2 bungkus makanan dengan kantong plastik putih.

"Wah, martabak. Lumayan ini buat ganjel perut."

"Makan gih, habis ini Kita belanja!"

"Siap, Bos!"

Ah, Rumaisha tampak begitu lahap menyantapnya. Ada rasa lega yang menyusup ke dada Ibra melihat pemandangan itu.


.


.


.


1 bulan berlalu, sosok Ahza kini berdiri mondar-mandir, menantikan info kelulusan. Sesekali, gadis itu mengintip notif e-mail, berharap kabar bahagia segera datang. Ibrahim? Sosok pria itu sungguh gigih, bertekad mewujudkan impian gadisnya.

Ting

Terbitlah senyum Rumaisha dan segera berlari ke ranjang kecilnya. Tangannya lihai memeriksa notif di layar persegi sedang matanya asyik memindai aksara.

"Aaaaa.. Alhamdulillah. Kang Ibra pasti seneng."

Gadis itu berlonjak kegirangan, mengekspresikan kebahagiaan.

Hingga sore datang, Ibra belum juga datang. Rumaisha, notabene sosok gadis yang super heboh, tak sabar memberinya kejutan. Namun, entah sejak kapan, ide berkunjung ke Umma Buya menyembul begitu saja. Tanpa pikir panjang, gadis dengan gamis coklatnya itu keluar mencari tumpangan.

Hanya butuh waktu 45 menit tuk sampai ke istananya. Langkahnya lebar, merindukan belain Umma Buya. Bibirnya tiada henti menampakkan deretan giginya yang indah.

"Assalamualaikum, Umma, Buya! Ahza datang!"

Langkah kaki beradu dan menghampirinya. Rupanya, sosok Umma datang dengan segelas teh di tangan.

"Sayang! Maasyaa Allah, Umma kangen." Umma berujar sembari memeluk gadisnya.

"Maisha juga kangen. Buya mana?"

"Di kamar. Bentar lagi juga ke sini."

Benar saja, cinta pertama Rumaisha datang dengan gagahnya. Gadis itu berdiri dan berhambur ke pelukannya.

"Duh, peri kecil. Apa kabar?"

"Baik dong, Buya. Rumaisha ke sini mau kasih kabar bahagia."

Kedua orangtuanya saling pandang dan menautkan alisnya, "kabar apa?"

"Rumaisha lolos tes beasiswa, yeeeeay!"

Umma serta Buya tampak senang sekaligus tertawa menyaksikan aksi putrinya. Ah, gadis itu sungguh pandai membuat orang terkesima.

"Alhamdulillah. Selamat, nak. Manfaatkan semua itu sebaik mungkin, paham?"

"Paham Buya."

Umma meyentuh bahu sang gadis pelan, "suamimu kemana, Nak?"

Rumaisha menoleh dengan senyum yang masih sempurna, "bantu-bantu di Ndalem,  Umma."

"Tadi sudah izin kalau berkunjung ke sini?"

"Hehe belum. Harus ya? Kan ke rumah orangtua sendiri."

Mendengar itu, Humaira menampakkan wajah sesalnya, "kamu tau sayang, ridho suami itu yang utama."

Gadisnya tampak diam dan mencerna kata, "m-aksudnya, ma?"

"Rumaisha pengen langkahnya berkah, nggak?"

Ahzanya hanya mengangguk dan masih sibuk menggali makna ucapan sang Umma.

"Selalulah berharap doa dan ridho suami! Sebelum keluar kemanapun, mintalah izin ke suami!"

"Kang Ibra nggak bakal marah kok, kan mainnya ke sini."

Buya tampak mengehela napas dan berisyarat pada istrinya untuk diam sejenak.

"Nak, seandainya nih, Rumaisha pulang kerja, eh di rumah nggak ada orang, nggak ada kabar, makanan kosong, perasaannya gimana?"

"Emm, kesel."

"Nha, itu. Kalau sudah kesel pasti bawaanya pengen marah. Kalau marah ujung-ujungnya emosi dan-"

"Maisha mau pulang! Kasian Kang Ibra." Rumaisha menyadari kesalahannya.


"Buya antar!"

"Nggak usah Buya. Maaf, Maisha salah. Assalamualaikum."

"Bentar, sayang!"

Terlihat Umma mengambil 2 kantong plastik untuknya. Rumaisha segera menyambar dan bergegas keluar. Pikirannya kacau, takut akan segala hal yang terjadi. Segala praduga berputar mengejeknya.

Tiba di rumah, gadis itu berjalan pelan, mencari sosok Ibra. Detak jantungnya beradu cepat, bahkan suaranya nyaris terdengar. Langkahnya terhenti saat mendapati Ibra sudah duduk rapi dengan koko dan sarungnya.

"A-assalamualaikum, Kang."

"Waalaikumsalam. Dari mana?"

Ahza berlari dan berlutut ke pangkuannya, air matanya menetes begitu saja.

"Kang, maaf! Maisha tadi nggak pamit, maaf!"


Ibra tampak diam dan menyaksikan penyesalan gadisnya.

"Kang, maaf! Jangan diam saja!"

Diam, lelaki itu masih membungkam mulutnya. Sesekali, napasnya berhembus berat dan lelah.

"Kang, Maisha janji nggak akan begini lagi. Ayo, Kang, ngomong!"

Tampak lelaki itu menyentuh pundanknya, membantunya duduk tepat di sampingnya.

"Jangan lakukan itu lagi, paham!" Ucapnya pelan.

"Kang Ibra nggak marah?"

"Tadinya mau marah, eh Maisha sudah nangis-nangis kayak anak kecil. Nggak jadi marahnya."

Maisha begitu riang dan memeluknya, "aaaa, makasih kang suami. Maisha sampe ketakutan tadi."

Ibra mengelus kepalanya pelan, "emang tadi dari mana? Suami datang nggak ada sambutan. Miris sekali," bukan marah, lelaki itu justru terkekeh.

"Maaf, kang. Tadi ke rumah Umma Buya."

Sang suami tampak mengangguk, "untuk?"

Bukannya menjawab, Maisha menyeret paksa lengan sang suami memasuki kamarnya.

"Ini kenapa malah ngajak ke kamar? Kangen-kangenannya nanti aja."

"Kang, ih. Maisha mau ngasih kejutan."

Gadis itu merangkak, meraih laptop di atas ranjangnya. Tangannya membuka benda hitam itu dan mencari notif yang Ia dapat siang tadi.

"Baca deh, kang!"

Ibra menurut dan membacanya seksama. Sesaat, Dia mengacak kerudungnya.

"Bocilku hebat. Selamat, ya!"

"Kang Ibra seneng, nggak?"

"Seneng, lah!"

"Ikhlas?"

"Ikhlas."

"Ridho?"

"Iya, ridho. Kenapa sih?"

Rumaisha berhambur lagi ke pelukannya, "nggak papa, Maisha makin cinta."

Ibra terkekeh mendengarnya, "ada-ada aja. Nggak bosan apa bilang cinta sudah 10 kali lho."

"Hah? Masa'? Kang Ibra suka ngitungin ya? Kepo ya? Cinta Maisha nggak bisa dihitung, lho."

"Ya Allah, heran Aku. Tingkahmu itu lho bikin orang mau ngamuk nggak jadi."

Maisha tertawa mendengar itu, "jangan pernah ngamuk ke Maisha ya, Kang. Maisha cengeng."

"Kelihatan kok."

"Iiih, nyebelin lagi kan. Yang romantis gitu lho, Kang."

Ibra berbalik dan menatapnya lekat, "mau romantis?"

Gadis itu mengangguk dengan antusiasnya.


"Yakin? Mau?"

Gadis itu mengangguk lagi.

"Bener?" Ibra bertanya sembari mendekatkan wajahnya.

Sungguh, Maisha tercekat, tak mampu berkata, bahkan mengangguk pun begitu susah.

"Jadi, mau romantis atau nggak?" Wajahnya sudah tak berjarak lagi.

Maisha hanya mampu menelas saliva. Andai bisa terpampang nyata, jantungnya sudah menyembul ke segala arah. Keringat dingin mengucur begitu saja.

"K-kang," suara itu tampak bergetar.

Cup

Maisha beku saat benda kenyal itu menempel seperkian detik ke bibir mungilnya. Matanya melotot tak percaya sedang Ibra menahan tawa melihat gadisnya kehabisan kata.

"Kaaaanng, first kiss Maisha!"

Siapapu akan tertawa, terbahak melihatnya kelabakan.

"Kenapa? Romantis, kan?"

Maisha mendekat dan berbisik, "kaku," gadis itu berkari terbirit ke luar kamar.

"Maishaaaa! Astagfirullah, sabar Ibra, sabar!" Lelaki itu terkekeh sendiri.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Senandung Cinta Rumaisha 17

Senandung Cinta Rumaisha 14

Senandung Cinta Rumaisha 6