Senandung Cinta Rumaisha 1

 

----Intro----

"Kalian surat-suratan?"
Keduanya mengangguk takut.
"Berarti kalian pacaran?"
Keduanya beku dengan jantung berpacu, sejenak, Mereka menggeleng bersamaan.
"Putus atau nikah sekarang!"
"Astaghfirullah, Gus! Njenengan kok gitu?" Pria muda mendongak seketika.
"Silahkan pilih, putus atau nikah?"
"Menikah!" Ucap sang gadis mantap yang dibalas tatapan tajam oleh sang Pria.

---------------------------------------------------------------------

Sequel cerita "Ketika Humaira Jatuh Cinta"

.


.

Ahza Rumaisha, gadis rupawan dengan tingkah lincah, pewaris sifat dan rupa Atha Humaira. Ahza Rumaisha, gadis dengan pemikiran kritisnya namun penuh dengan kekonyolan, layaknya sang Buya.

"Buya, Maisha boleh tanya?" Tanyanya manja sambil memandang penyandang julukan Buya.

"Tanya saja! Ada apa?"

"Dulu, Umma seperti apa?"

Mendengar itu, Humaira, Umma dari Rumaisha, memandangnya dan tersenyum simpul.

"Umma pinter," Buya menjeda dan melirik sang istri, "tapi pemalu."

Ah, Humaira tertawa dan mencubit lengan sang suami.

"Kalau Buya?"

"Buya juga pinter," Humaira menahan tawa, "tapi tingkahnya konyol."

3 titisan Adam itu tertawa beriringan. Tiap sajian makanan seolah berteriak iri dengan kebersamaannya. Tak pernah terlewatkan, obrolan ringan adalah aktivitas terdepan untuk terus menciptakan keharmonisan.

Jika Mereka sibuk dengan urusan masing-masing, itu tak berlaku bagi keluarga Rumaisha. Buya serta Umma siaga merajut kehangatan. Akankah kelak Dia pun berlaku demikian? Hanya Rumaisha yang tahu pasti apa jawabnya.

"Ekhem, dulu, siapa yang jatuh cinta duluan? Umma atau Buya?"

Umma serta Buya saling pandang dan lempar senyuman sedang Rumaisha memekik keheranan.

"Yang nanya di sini, lho. Kok malah saling pandang?"

"Sayang, Umma adalah cinta pertama Buya."

"Aaaah, Buya sweet banget sih. Berarti Buya dong yang cinta Umma duluan? Terus Umma?"

Sungguh, detik ini sosok Humaira salah tingkah mendengarnya.

"Umma, Umma, emm."

"Ok, fix. Maisha paham. Buya cinta Umma tapi Umma cinta orang lain. Duh, Buyaku kasian. Sabar ya, Buya."

Bukan kecewa, melainkan suasana menjadi penuh canda tawa.

"Buya, berarti Rumaisha kayak Buya."

"Maksudnya?"

"Maisha suka seroang ikhwan," bisiknya malu.

Sungguh, detik ini jantungnya beredetak lebih cepat saat mengutarakan isi hatinya pada kedua malaikatnya. Sekalipun Dia gadis riang jua penuh tawa, ada saatnya Dia merasakan hawa berbeda.

Layaknya taman, tak akan tampak sebuah keindahan tanpa adanya bunga. Begitupun hatinya, meski selembut sutra, akan sia-sia tanpa hadirnya cinta.

Sang Umma mengelus kepalanya penuh rasa sayang, "masih kecil, belajar dulu yang bener, sayang."

"Bentar lagi lulus Aliyah, Ma. Maisha sudah dewasa." Ujarnya menunduk malu.

"Sepertinya Buyamu benar."

"Kenapa?" Buya memandangnya heran.

"Cewek kok baperan ya."

"Ummaa, ih. Maisha serius, lho!"


.


.


Jam 9 malam, Rumaisha sibuk berkutat dengan lembaran. Tak lupa, senandung sholawat membersamai tiap sela kegiatan. Merasa lelah, gadis itu hanya menopang dagu dan menerawang lama. Sekelebat senyum manis seorang ikhwan menyembul di sela lamunannya.

"Maasyaa Allah, Kang Ibra kok ganteng banget sih."

Sadar itu salah, Dia segera mengusap wajah manisnya bebarengan dengan lantunan istighfar.

"Astaghfirullah. Ampuni Maisha, ya Allah!"

Entah sejak kapan, tangan lembut Umma menembus detak jantungnya. Sentuhan di bahu kirinya membuat gadis itu menoleh seketika. Sejenak, Dia menunduk kikuk. Pasalnya, Rumaisha sangat hapal dengan kebiasaan sang Umma yang akan menyelipkan banyak kata di setiap tingkahnya.

"Lagi mikirin ikhwan itu?"

Mengangguk takut, gadis itu takut jika Ummanya marah.

"Coba lihat Umma!"

Dia menuruti ucapan sang Umma dengan dada yang berdebar. Bukan karena Humaira kejam, melainkan caranya berucap yang mampu membius tiap pasang mata.

"Nak, cinta itu tak selamanya indah. Maisha boleh suka tapi jangan terlalu mengharapkannya. Maisha paham?"

"Paham, Umma."

"Good. Sudah malam, bobok gih! Besok harus balik ke pondok!"

Ah, Dia tak bisa berontak jika sudah berhadapan dengan sang Umma. Baginya, wanita di depannya terlalu mulia. Gadis itu seringkali melihat sang Buya memperlakukan bidadarinya dengan istimewa. Lantas, bukankah anak juga harus memuliakannya?

"Maaf ya, Umma. Maisha masih memikirkannya." Ucapnya sembari menutup kepalanya dengan selimut tebal.


.


.


Jam 6 pagi, Umma telah siap dengan sajian di meja sedang Buya sudah duduk gagah dengan kemeja abunya. Rumaisha? Ah gadis itu masih sibuk berkutat dengan penampilannya. Katanya, salah satu bentuk syukur adalah merawat keindahan tubuh. Itulah gadis yang dibangga-banggakan keluarga.

"Assalamualaikum, Umma, Buya. Maisha sudah cantik."

Buya terkekeh melihat tingkah sang anak, "dari lahir sudah cantik, nak. Cepet sarapan!"

"Umma, Buya nggak rela Umma tersaingi Maisha."

"Makan, Sha! Bercandanya nanti!" Sahut Umma sambil menggelengkan kepalanya.

Ketiganya pun fokus dengan semua sajian. Usai sarapan, Mereka bersiap menuju pesantren, tempat Rumaisha menimba ilmu.


Tiba di bangunan tinggi menjulang dengan lalu lalang santri berpakaian putih, Rumaisha tersenyum riang. Rindu, satu kata yang mewakili hatinya tuk seluruh temannya.

"Belajar yang rajin! Umma sama Buya pulang dulu, ya?"

Gadis itu mengangguk dan memeluk dua malaikatnya. Ada harap bahwa kelak, Dia bisa menjadi sosok istimewa, bak perempuan penyandang gelar Rumaisha yang sesungguhnya. Ada harap bahwa kelak, Dia selalu melangkah dengan keberuntungan. Layaknya nama yang terselip sebelum aksara Rumaisha, Ahza.

Malam menyapa, gadis yang menjadi sosok idaman para santri itu sibuk mematut diri. Tak apa, gadis itu hanya ingin tampil sempurna. Berlebihan, bukan? Absolutely, No. Tiap Hawa pun berlaku demikian.

Pembelajaran di mulai, mata sang Rumaisha seringkali menunduk. Sejenak, netranya mencuri titik pandang pada sosok ikhwan di depannya. Ya, Dia, Muhammad Ibrahim, lelaki yang Ia idamkan sebelumnya. Pria sederhana namun wibawanya begitu kentara.

"Kamu, bawa kitab anak-anak ke ustadz Salim."

Maisha mendongak dan mendapati Ibra telah berdiri tepat di depannya. Ustadz? No. Dia hanyalah kakak 1 tingkat di atasnya, abdi ndalem biasa, yang memiliki kadar kepandaian tinggi.

"N-nggin, Kang."

'Demi apa? Kang Ibra ngajak ngomong Maisha? Umma, anak Umma jatuh cinta ini.' Monolognya sambil tersenyum sendiri.

"Cepet kesana sebelum kena marah!" Bisik teman di sampingnya.

Bukan menurut, melainkan merobek sehelai kertas. Tangannya lihai menuliskan aksara, sangat indah layaknya tulisan sang Buya.

Derap langkah kakinya terdengar pelan mengendap, mencari sosok Ibra setelah melaksanakan tugasnya. Tak di sangka, 1 deheman menghantam dadanya.

"Ekhem."

Dia menoleh dengan tatapan cengonya seolah berujar sejak kapan lelaki itu di sini.

"Cari siapa?"

"Cari njenengan, Kang."

'Bodoh!' Umpatnya dalam hati merutuki kekonyolannya.


"Untuk?"

Entah keberanian dari mana, Rumaisha mengulurkan tangan dengan lipatan kertas. Setelahnya, gadis itu lari terbirit sedang Ibra menggeleng heran.

Tangannya lihai membuka tiap lipatan. Sejenak, matanya menyipit dengan bibir mengeja kata.

AHZA RUMAISHA

"Dasar gadis konyol."

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Senandung Cinta Rumaisha 17

Senandung Cinta Rumaisha 14

Senandung Cinta Rumaisha 6